Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 15 Januari 2011

PL


Oleh: Farida Susanty @faridasusanty

                Ada yang salah dengan laki-laki itu.
                Bukan, bukan hanya karena sifat alaminya yang membuatnya berbeda dengan laki-laki lain di lingkunganku. Dia, yang sering berjalan-jalan sendiri, dengan kepala lonjongnya yang terus menunduk sembari kakinya melangkah. Telinga yang terpasang headphone kecil. Tubuhnya yang tinggi dan kurus, mata yang menatap kosong ke arah orang-orang, atau langit. Tapi dia punya senyum terbersih yang pernah kulihat. Seperti senyum keponakanku yang berumur 12 tahun.
                Tapi ada yang salah dengannya. Setidaknya menurut orang lain.
                Aku baru menyadarinya ketika aku merasakan diriku tertarik ke arahnya. Aku mulai sering mengikutinya dari belakang. Aku mulai sering tersenyum dan menyapanya. Membawakannya makanan kecil yang kubeli dari kantin.
                Reaksinya. Reaksinya yang menarik. Ketika kuberikan makanan itu, atau ketika aku terseyum padanya, dia akan menatap wajahku dalam-dalam. Seakan dia sedang membaca sebuah buku dengan huruf kecil-kecil. Kemudian dia akan mengerutkan dahinya, dan mulai mengimitasi ekspresiku saat itu. Dia akan mengikuti senyumku. Ketika aku berhenti tersenyum, dia juga akan berhenti tersenyum. Ketika aku memalingkan wajahku malu, dia akan ikut memalingkan wajahnya dengan ekspresi yang sama.
                “Kenapa?” tanyaku saat itu. Kini akulah yang bingung.
                “Aku tidak mengerti,” katanya pelan. “Aku tidak pernah mengerti ekspresi orang. Atau apa yang harus aku respon dari ekspresi mereka itu. Jadi aku coba tiru, agar aku mengerti apa perasaan mereka ketika mereka memasang ekspresi semacam itu.”
                Aku tertawa.
                Aku tidak tahu bahwa dia serius.


                Aku jatuh cinta pada laki-laki ini. Aku tidak bisa melupakan wajahnya. Dirinya yang begitu polos, bahkan terlalu polos. Seperti mesin. Seperti robot.
                Suatu hari kudatangi dirinya di tempatnya biasa berjalan-jalan sendiri.
                “Hey,” panggilku pelan ke arahnya.
                Dia menoleh.
                “Hey. Aku suka kamu,” bisikku.
                Dia berdiri di sana. Wajahnya membeku. Matanya tak berkedip menatapku. Aku tahu dia berusaha mengerti apa yang kukatakan. Dia berusaha mengerti ekspresiku.
                Kulemparkan diriku ke arahnya dan kupeluk tubuhnya yang sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku. Tubuhnya ternyata tidak seperti robot. Dia hangat. Dan dapat kurasakan detak jantung yang berdegup teratur di dalam dirinya. Dia bahkan tidak merasa gugup sama sekali dinyatakan seperti itu.
                “Kalau begini, kamu mengerti?” tanyaku di balik lehernya.
                Dia tidak merespon.
                Kulepaskan pelukanku. Rasanya sekarang malah aku yang sedikit sedih. Kutahan ledakan di dalam diriku. Setelah semuanya, dia bahkan tidak juga mengerti. Setelah semua pengorbananku mengajaknya bicara, memberinya makanan tiap siang, dia tidak juga mengerti.
                Kemudian kurasakan tangannya menggenggam lenganku. “Aku tidak berbuat salah sama kamu kan?” tanyanya.
                Aku menarik napas panjang, mengangkat alis.
                Dia ikut menarik napas. Ditatapnya lekat-lekat diriku. Kemudian dia menggeleng-geleng, tangannya mengaduk sakunya. Aku melipat tanganku dan menebak-nebak apa yang akan dia keluarkan dari dalam sana.
                Saat itulah aku mengerti.
                Dia mengeluarkan sebuah alat pemutar musik. Kecil. Dengan rentetan nama artis dan jenis musik di layarnya.
                “Dari dulu, Ibu memutar lagu tertentu untukku, agar aku mengerti perasaanku atau perasaan orang. Aku tidak pernah bisa memberi perasaan itu nama-nama, dan itu sering membuat orang marah,” katanya. “Aku suka nada-nadanya. Aku mengerti banyak hal dari sana. Nada yang meliuk-liuk atau berirama cepat. Ada yang berteriak dengan nada cepat, membuatku ingat dengan apa yang kurasakan ketika aku ketinggalan bis. Ada yang sangat lembut sampai aku tertidur.”
                Aku masih menganga.
Disodorkannya alat pemutar musik itu ke arahku. “Kamu mau memilih lagu tertentu yang bisa membuatku sedikit mengerti perasaanmu saat ini? Aku tidak mau membuatmu sakit hati.”
                Aku tidak percaya aku berdiri di sini, baru saja menyatakan rasa sukaku pada seorang laki-laki, yang akhirnya memintaku untuk menunjukkan satu lagu yang bisa membuatnya mengerti perasaanku padanya. Kuambil alat pemutar musik itu dan kupilih salah satu musisi acak yang menyanyikan lagu dengan nada lembut yang pelan.
                Kusodorkan balik alat musik itu ke arahnya.
                Dia memasang headphonenya.
                Dia tersenyum.
                Senyum bersih itu.
                “Terima kasih,” katanya. Terima kasih.


                Malam itu. Dua minggu kemudian. Di mobilnya. Segalanya kembali ke satu momen itu lagi. Ada banyak hal yang harus tetap aku pelajari darinya.
                “Kenapa kamu tidak datang ke ulangtahunku?” ujarku pelan.
                Dia terdiam dan menatap wajahku lekat-lekat lagi. “Ada acara TV yang bagus. Aku tadinya mau pergi, tapi acaranya bagus. Jadi aku duduk dan menonton,” katanya.
                Aku memandangnya tidak percaya. Kubuang wajahku.
                “Kamu...” Dia berusaha meraih tanganku. “Kamu mau menjelaskan padaku apa yang kamu rasakan saat ini?” Dia menunjukkan koleksi CDnya padaku.
                Kutarik napas panjang lagi. Mataku rasanya panas. Tapi dia di sebelahku. Menatapku dengan matanya yang kosong, bersih, seperti anak kecil. Lebih parah lagi. Seperti robot.
                Kuambil salah satu CD. Kumainkan di CD playernya. Musik mengalun. Nada-nada menghentak. Teriakan dari seorang penyanyi wanita.
                Dia tercenung sejenak, membiarkan nada-nada itu masuk ke telinganya. Beberapa saat kemudian, dia melebarkan matanya.
                “Ya Tuhan, maaf. Maaf...” Dia meraih tanganku dan menunduk.
                Aku selalu mempertanyakan kenapa aku membiarkan diriku bersama laki-laki ini. Aku selalu mempertanyakan kenapa aku harus mengalami ini. Tapi tawa pelannya malam itu tetap menarikku di sampingnya. Sentuhannya yang jujur.


                Kami tidak pernah bicara apa-apa lagi. Ketika kami berjalan bersama di tengah kota, kami akan saling menempelkan kepala kami ke bahu satu sama lain. Dengan headphone di masing-masing telinga. Tangan kami memegang alat pemutar musik itu. Aku memegang miliknya. Dia memegang milikku.
                Kulihat seorang pria tua duduk di sebuah kafe, merengut sendiri, dengan kerutan di seluruh wajahnya dan buku tebal di tangannya. Aku merengut dan memilih lagu suram di headphonenya. Dia kaget dan melirik padaku. Kutunjukkan pria kesepian itu.
                Dia tertawa.
                Dipilihnya lagu ceria yang lucu.
                Kupeluk dirinya.
                Terima kasih.
                Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!