Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 23 Januari 2011

Untuk Seorang Saingan

Oleh: @kikiavicenna



Setahun berlalu, kau masih tak terlampaui
Meski sekarang, bagimu angka tiga atau empat tak lagi berarti
Dan apa pun yang tertulis di kartu putih tak lagi membuatmu peduli

Sementara aku, seribu mil dari tempatmu
Masih mengejar kemungkinan yang terbang satu demi satu
Ah, aku tetap saja kalah darimu



Hai, kamu yang dulu sainganku.

Seperti yang kamu duga, aku akan memulai surat ini dengan sapaan konvensional, "Apa kabar?"

Aku harap kamu bahagia, di tempatmu. Seribu mil dari sini.

Waktu berlalu tanpa terhentikan. Sudah nyaris setahun rupanya sejak kita akhirnya berpisah di persimpangan itu. Persimpangan menuju cita-cita kita sendiri. Dan persimpangan itu kita namakan "kelulusan".

Sekarang, kita dalam perjalanan menuju impian yang berbeda.

Tetapi dulu, kita satu arah. Kita satu tujuan, menuju persimpangan bernama "kelulusan" itu. Selama satu setengah tahun, sejak kita pertama kali bertemu di hari kepindahanku ke sekolah itu, kita berjalan di jalur yang sama.

Kamu tahu mengapa aku menganggapmu saingan?

Sebenarnya, waktu itu aku begitu kagum padamu. Semua variabel, angka, rumus yang paling mengerikan bagiku sekalipun tunduk begitu saja pada ujung penamu. Sementara aku? Untuk mencapai garis ujian remedial saja rasanya seperti mencoba menggapai Bulan dengan tangan kosong.

Karena persaingan itulah aku mulai berusaha lebih keras, mengejar ketertinggalanku darimu, sedikit demi sedikit. Meski kamu terus saja melaju, terus saja mengalahkan aku.

Tetapi, kekalahan darimu bukan masalah bagiku. Kamu sudah membantuku mengarungi sebagian samudra ilmu eksakta, bahkan tanpa kamu sadari...

Dengan kekalahan demi kekalahan yang kudapat, aku terus berusaha.

Kamu ingat? Ketika kita naik ke kelas tiga, persaingan kita meluas. Keluar dari daerah yang penuh rumus dan hitungan, menembus ranah Biologi dan pelajaran-pelajaran bahasa.

Tadinya kita masih sama, atau kebetulan aku bisa sedikit mengunggulimu. Tapi kemudian, kamu mengejarku, lalu mengalahkan aku.

Lengkap sudah kekalahanku, Teman, tapi sekali lagi tak masalah.

Sampai angka-angka yang tertulis di buku kelabu kita bicara.


Ketika angka-angka itu dijumlahkan, aku tak tahu mengapa... angka di bukuku terlihat lebih tinggi.

Tapi mengapa? Inikah bagian dari siklus itu? Aku tak tahu. Mungkin kamu lebih mengerti?


Entah mengapa.

Lalu aku menemukan arsip nilai kenaikan kelas kita, semester pertama persainganku denganmu. Sama saja.

Pasti itu hanya sebuah kebetulan...

Karena aku menyadari sepenuhnya, aku tak akan bisa mengungguli kamu dalam banyak hal. Banyak sekali hal.


Temanku, kamu yang dulu sainganku...

Ingat saat akhirnya kita memilih jalur yang berbeda saat tiba di persimpangan itu?

Kamu begitu ingin menjadi murid Tuan Einstein, sementara aku sejak lama ingin diajarkan ilmu dan seni Hippocrates.

Di persimpangan bernama "Kelulusan", demi cita-cita... Persaingan kita usai.

Kemenangan tetap ada padamu, meski akhirnya aku juga berhasil meraih impianku untuk belajar ilmu kedokteran. Kamu berhasil masuk ke dalam suatu dunia yang terasa demikian asing bagiku, bersama orang-orang pilihan dari penjuru negeri.

Aku tersenyum saat melihatmu pergi, melesat menjauhi aku, demikian cepatnya sampai-sampai suaraku pun tak mampu mengejarmu untuk sekadar memberi selamat atas kemenanganmu...


Dan sebelum surat ini berakhir, aku ingin mengucapkan selamat padamu dan mengatakan apa yang sejak lama sangat ingin aku katakan tentang persaingan kita:

Terima kasih, Teman. Dan entah mengapa, aku sedikit merindukan masa-masa persaingan kita.




Salam hangat dari aku yang selalu kalah,


Kiki Avicenna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!