Oleh Rheza Aditya (@gravelfrobisher)
Aku tidak percaya ini.
Dengan kedua tanganku yang terasa dingin bagaikan es, aku mengusap-usap pandanganku, mencoba meyakinkan diriku sendiri akan apa yang kulihat di hadapanku. Namun, berapa kali pun aku mencoba menghapuskan kenyataan yang terpampang di hadapanku, aku kembali disadarkan bahwa yang kusaksikan adalah nyata.
Entah mengapa, sobekan besar di lututku sama sekali tidak mengiris-iris lagi. Entah mengapa, pergelangan kaki ku yang terkilir sama sekali tidak menjadi masalah lagi. Yang paling mengejutkan adalah, aku tidak panik meskipun aku tidak bisa merasakan keberadaan tangan kananku lagi. Ya, itu mengejutkan. Karena aku tidak terkejut menyadari bahwa tangan kananku mati rasa.
Dirinya, terbaring diatas tanah.
Bersimbah darah.
Tenggorokanku bahkan terlalu hampa untuk berteriak.
Dan aku tahu bahwa kematian itu nyata, pahit sekali kukecap saat tidak ada denyut yang membalas sapaanku, tiap kali kuketuk tubuhnya dengan lembut.
Bagaikan boneka, dirinya mematung disana, matanya terbelalak dan tak bisa ditutup.
Genangan cairan berwarna merah tertumpah di dekat kepalanya, dan aku hanya bisa menyaksikan ketika cairan itu—kehangatan terakhir dari tubuhnya itu—perlahan terkucur menggenangi aspal abu-abu yang bagaikan mengejek dirinya dengan tidak menyerap dan membiarkan cairan tersebut menggenang.
Mengapa?
Aku menjerit dalam hati, menghiraukan kerumunan orang-orang yang datang seolah mereka mengenal kami, padahal mereka hanya menonton tanpa melakukan apapun. Sebuah dering telepon terdengar dari dalam tasku, dan entah mengapa aku jadi malas untuk mengangkatnya, perutku terlalu mual untuk mendengarkan siapapun yang meneleponku disaat seperti ini.
Oh, aku tahu. Itu pasti Kak Ferdi, memberitahu bahwa anaknya dengan Kak Intan akhirnya terlahir.
Yang membuatku kembali teringat, aku dan dia berencana untuk pergi ke Rumah Sakit XYZ.
Dan kami memang baru saja sampai di Rumah Sakit.
Kami akan bergegas menuju lift dan memijit tombol bertuliskan ‘6’ untuk segera bertemu dengan Kak Ferdi.
Kalau saja truk sialan itu tidak datang…
Mengapa…?
Mengapa harus berakhir seperti ini…?
Sebulir air mata yang sedari tadi menggantung di pelupuk mataku akhirnya terjun bebas, bagaikan rintik hujan dia jatuh dan membasahi permukaan tanah, tanda sebuah kesedihan yang meluap dan mendominasi yang melingkupi isi hatiku sekarang.
Tapi aku tetap tidak bisa mengatakan apa-apa.
Bahkan ketika salah seorang dari orang-orang tersebut mulai mengguncang-guncangkan tubuhku, berusaha untuk membuatku menyingkir dari jenazah pria itu.
Suamiku.
Satu hal yang mengejutkan kualami setelahnya, aku tertawa.
Persetan dengan anak baru Kak Intan.
Persetan dengan dunia.
Aku baru memanggilnya ‘suami’ selama tiga minggu.
Dan dia harus meninggal disaat yang sama dengan kelahiran anak Kak Intan.
Hari paling membahagiakan bagi Kak Intan adalah hari kehancuran diriku.
Lucu bukan? Betapa hidup dapat merubah segala tawa canda didalam mobil , yang baru saja terjadi tak lebih dari lima menit yang lalu, menjadi sebuah isakan dalam diam.
Seperti yang kulakukan saat ini.
Aku tertawa pelan, air mata masih mengucur dari kedua bola mataku.
Orang-orang disekitarku tampak sedikit takut akan reaksi yang kutimbulkan, namun aku tidak perduli.
Telepon genggamku kembali berdering. Aku juga tidak perduli.
Samar-samar aku mengingat senyum Kak Intan ketika dia mendambakan hari kelahiran putranya. Aku teringat ketika kami berdua—bertiga, bersama suamiku—mencoba untuk memilihkan nama bagi anaknya.
Kami akhirnya sepakat atas nama ‘Berkah’.
Karena anak tersebut adalah berkah bagi Kak Intan dan suaminya.
Karena kelahiran anak tersebut—kukira—dapat mengembalikan senyum ke wajah Kak Intan.
Sekarang?
Persetan dengan kelahiran.
Persetan dengan Berkah.
Aku mau suamiku, aku mau kehidupanku kembali!
Masih tertawa, kurasakan pandanganku semakin buram. Aku mencoba bangkit berdiri, berjalan tergopoh-gopoh sambil menyentakkan siapapun yang berusaha menghentikanku.
Aku berjalan mendekati jenazah suamiku.
Yang kulakukan setelah sampai dihadapannya, adalah sesuatu yang mungkin tidak bisa dimaafkan oleh Kak Intan maupun Kak Ferdi.
Karena aku akan menodai album kelahiran anak mereka dengan lebih banyak darah.
Kuambil pecahan kaca paling besar yang bisa kutemukan. Kugenggam erat hingga jemariku terasa gatal karena tersayat.
Dan kuhunjamkan ke leherku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!