Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 19 Januari 2011

Pelajaran Berharga untuk Seniorita

oleh: @rofianisa

http://blabbermouthdisease.tumblr.com/


Di hadapanku ada seorang wanita. Denganku usianya dua tahun lebih tua, tetapi perilakunya terlihat seakan ia adikku yang selalu ingin dimanja. Di pundaknya terdapat setumpuk beban, tapi tawa (atau setidaknya senyum) selalu menghias raut wajahnya yang jenaka.


Dan sore ini aku membuatnya menangis.


“Kak, ...maaf.”


“Lo gak salah apa-apa, Ndu. Gw yang salah. Gw yang bego. Gw yang terlalu mudah bergantung sama apa yang terlihat di depan mata. Gw... gw...” senior manis ini menyerah, kehilangan kata-katanya.


Aku mengkhianatinya, aku menyayat hatinya. Tak sengaja. Tapi tak ada bedanya, ia tetap terluka.


“...Kak, nggak nangis kan?” ah bodohnya. Tentu saja ia sedang menangis. Mukanya memerah.


Aku ingin menyentuhnya, membelai rambut indahnya, menenangkan jiwanya yang gamang. Tapi aku tidak bisa menjadi racun dan madu sekaligus. Maka aku diam saja. Menunggunya menghabiskan airmata sebelum mungkin ia akan berbicara.


“Lo terlalu baik, Ndu. Cuma itu. Selebihnya gw yang salah. Gw yang terlalu naif. Harusnya gw bertanya dulu sebelum begitu aja percaya. Harusnya gw tahu kalo kita... kalo lo... gw... gak ...bisa.”


Kalimatnya tidak sempurna. Tapi aku sudah mengerti maksudnya.


Ia menghela nafas panjang sebelum berkata, “Tinggalin gw, Ndu.”


Aku pergi tanpa babibu. Ia selalu tahu apa yang aku mau.


*


Tiga tahun kemudian.


Di hadapanku ada seorang wanita. Raut wajahnya sangat dewasa, ditambah sedikit riasan yang membuat karakter mandirinya sungguh terasa. Auranya sangat menyenangkan, seperti hidup tidak pernah ada beban. Tetapi senyumnya bukan senyum yang lama, dan ada kehati-hatian dibalik setiap kata yang ia ucapkan.


Seperti ada tembok yang membentengi perasaannya. Tembok yang terkunci dan dijaga oleh naga.


“Apa kabar, Kak?”


“Baik... lo gimana? Lancar kuliahnya?” senyumnya tetap manis. Tapi seperti bukan dia.


“Hem, ya... begitu kira-kira.”


Hening menggantung diantara aku dan dia (aku tak bisa menyebutkan ‘kita’).


Ia yang memecahnya, “Makasih ya, Ndu.”


“Eh, buat apa?”


“Karena lo bikin gw belajar sesuatu. Pelajaran yang paling berharga dalam hidup gw.”


“Hm?”


“Bahwa di dunia ini tidak ada yang bisa di percaya.”


Tangannya tidak pernah menamparku, tetapi aku merasakan sensasi panas yang sama.


*


Jika ada yang salah dengan berbuat baik kepada semua orang, mungkin aku contohnya. Sebagai seorang pria aku kira sudah sepantasnya berlaku gentle kepada siapa saja, terutama wanita. Tanpa kusadari label itu menempel di jidatku begitu saja: playboy.


Aku tidak bermaksud melukainya. Aku hanya memperlakukan semua wanita disekitarku dengan istimewa. Wajar, menurutku. Turunan Hawa memang selalu patut untuk dipuja. Dan aku tidak punya waktu untuk memilih satu diantara mereka. Jadi mana aku tahu kalau tanpa sepengetahuanku ia meminta izin kepada kedua orangtuanya untuk bisa dekat dengan pria yang lebih muda? Mana aku tahu kalau ia diusir dari rumah karenanya? Aku hanya berusaha berbuat baik kepada semua orang, sumpah!


Ah, nasi telah menjadi bubur. Kata temannya, sekarang dia tidak pernah lagi percaya. Pada semua orang. Pada siapapun, bahkan yang telah memberikan senyum tertulus mereka untuknya.


Dan dia berterimakasih, kepadaku. Miris, ya?


...


Tamparan imajiner itu kembali terasa di alam bawah sadarku.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!