Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 19 Januari 2011

Percakapan Dengan Papa

Oleh: Bellanissa B. Zoditama (@bellazoditama)


“Hallo, Pa…” sapaku kepada Papa yang sedang asik duduk di kursi malas.
“Hallo, Sayang. Apa kabar?” balas Papa sambil menyeruput kopinya. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya menyeruput kopi dengan antusiasme seperti ini.
“Alhamdulillah, aku baik…” Tapi hidupku masih terasa hampa tanpamu Pa. Kesedihan itu kembali mengaliri aliran darahku.
Papa lalu mendekati wajahku, dan mengamati cahaya mataku dalam-dalam. “Apa kamu masih belum menerima kepergian Papa, Sayang? Kamu belum ikhlas?”
Aku mengigit bagian bawah bibirku, berusaha untuk menahan tangis pilu ini. Entah kenapa, air mata ini malah jatuh dan mengalir perlahan. Kemudian aku mengangguk, memberikan jawaban atas pertanyaan Papa.
Papa lalu menyeka air mataku, dengan tangannya yang besar itu. “Kamu tidak perlu menangis, Sayang. Papa sudah tenang di sini. Apa yang membuatmu masih merasa sedih?”
“Aku… aku iri dengan teman-temanku, Pa. Aku iri dengan mereka yang masih bersama kedua orang tuanya. Papa pun masih belum melihat kesuksesanku kelak, terlalu singkat waktu yang kuhabiskan denganmu Papa, aku masih ingin bersama denganmu….” Dan air mata itu tumpah menjadi semakin menjadi-jadi. Sebenarnya aku malu menangis di hadapan Papaku seperti ini, karena aku sudah terlalu dewasa untuk menangis dan tidak boleh cengeng lagi.
Papa lalu memelukku dalam, hal yang jarang dia lakukan semenjak aku menginjak dewasa. “Sayang, kamu tidak perlu bersedih. Hidupmu masih panjang. Papa selalu melihatmu dari Sini. Tidak perlu khawatir seperti itu….”
Aku tidak mau melepas pelukannya yang menghangatkanku itu. “Lalu bagaimana kalo aku rindu padamu? Harus dengan apa aku menebusnya?”
Papa tertawa, aku dapat merasakan detak jantungnya. “Lihat dirimu. Bukankah di situ aliran darah Papa yang menopang tubuhmu. Masih ada kesamaan sifat dan raut wajah kita, Sayang. Jadi buat apa kamu bersedih hati. Ingat suatu saat kita pasti dipertemukan lagi. Cobalah kamu bersabar sejenak…”
“Tapi, Pa….”
Perlahan bayangan Papa memudar seiring dengan munculnya asap putih yang sangat tebal, yang entah dari mana datangnya

Oh, ternyata aku hanya mimpi. Tapi kenapa entah kenapa mimpi itu begitu jelas dan nyata? Tuhan bisakah kau memberikan jawabannya?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!