Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 31 Januari 2011

Dimensi dan Keengganannya


By: ellena ekarahendy | @yellohelle | the-possibellety.blogspot.com


Sejak kapan kita memilih untuk peduli pada bibir-bibir yang bergerak mencibir tiada henti?  Juga pada kerlingan mata yang dalam ketenangannya mengintimidasi dengan liar. Pada aku. Mungkin juga pada kamu?
Ada imun yang terbentuk dari kerinduan yang terbangun sepanjang tahun ini. Aku memilih untuk hanya menatap ke depan, pada visi-visi yang terbentuk dari kecintaan yang tereksagerasi.
Menyebut aku tidak tahu malu, padahal aku hanya berdiri pada apa yang aku percaya. Padahal aku hanya mengejar cita yang kupercaya bisa menjadi gita. Mereka pikir mereka siapa?


Mungkin kita sama-sama tahu bahwa jauh di dalam keasingan pikiran dan perasaan kita masing-masing, kita menginginkan waktu lebih banyak bagi kata-kata kita untuk bersentuhan. Atau hanya asumsiku saja, karena pada individu yang pikiranku proyeksikan sepanjang waktu (iya, kamu) hanya ada obsesi yang termanifesto. Kamu adalah candu.

Lama aku berdebat dengan pikiranku sendiri, tentang apa yang rasional dan irasional. Tentang posibilitas antara aku dan kamu. Tapi selalu aku berakhir pada penglihatan bahwa aku dan kamu tetap kemustahilan. Biarkan saja demikian. Pun obsesikulah yang turut menjelma jadi udara yang menafasi hari esokku. Kamu adalah candu. Dan kamu menafasiku.
Lama juga super-ego-ku berkelahi dengan ego maupun id-ku sendiri di sela kebisingan di dalam kepala. Aku berbicara (pada diriku) tentang kebebasan manusia yang bisa kujadikan justifikasi untuk menghadirkan eksistensiku di dalam dimensi hidupmu. Namun ketakutan selalu mentransformasinya jadi sekedar petik kata “Hai.”, lalu kita menjalari detik-detik sederhana dengan senyuman yang berbalasan, kemudian dengan lambaian tangan yang sebenarnya menyebalkan.

Dalam diam aku ingin menyusuri kehidupanmu yang tak terjamah. Muncul pertanyaan mengapa kehidupanmu dan kehidupanku tidak bisa saing terjamah. Kuterka sendiri saja, mungkin karena kita hadir dalam dimensi yang berbeda? Ah. Astaga! Sungguh menyebalkan sekali melihat kita bertumbuh dalam masa yang berbeda lalu terjebak dalam dimensi waktu yang sama tapi tidak bisa kita kejar. Tidak bisa aku kejar. Kehidupanmu.

Bahkan pada deretan kata-katamu yang mereka sebut membosankan, aku jatuh cinta. Dari situ aku tahu damba yang tak terbendung untuk bisa menyusuri kerumitanmu yang manis. Tapi kamu tidak tergapai.
Jadi ketika akhirnya sebuah kebetulan kosmis mempertemukan kita lagi (meski kadang di waktu yang  salah), aku akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdiam: menapaki bola matamu yang kadang kulihat sebagai kelelahan atas pertanyaan terhadap dunia, menimang-nimang dan mengecap habis bilah-bilah kata sederhana yang kamu lantunkan, mengulangi senyumanmu yang dalam kecanggungan tetap saling berbalasan di dalam kepalaku sendiri, atau bahkan hanya sekedar mendengarkan derap-derap tapak kakimu selagi berjalan beriringan denganku dalam menit-menit yang langka ini.
Kemudian kita sama-sama terdiam. Kikuk. Dan lucu. Kepalaku bising menyorak-nyorakkan namamu. Kadang kutakut euforia dari dalam pikiranku bisa sampai di telingamu, karena aku ingin menyanduimu hanya dalam ketenangan dan kerahasiaan meski ketidakpedulian atas apa yang mereka lontarkan tetap aku sampaikan kepadamu.

“Silahkan masuk,” ujarmu tiba-tiba. Menghancurkan imajinasiku saja.
Aku melempar senyum. Satu hal yang kuharap bisa kamu bayangkan ketika butuh penyangga dalam kejenuhan dan kesendirian.
“Tidak, Bapak saja duluan.”
“Tidak apa-apa. Kamu saja duluan, Liz.”
Lagi, aku tersenyum, dan bergetar. Menyebut namaku saja ada kemerduan yang selalu membuat rindu.
Aku melihat kamu tersenyum lalu melambaikan tangan berkata “Silahkan”. Aku sudah hampir memulai imajinasiku lagi tentang kamu (dan bersama aku tentunya) ketika tanganmu memutar engsel pintu kelas lalu membiarkanku melangkah masuk. Kamu mengikutiku dari belakang dengan buku-buku tebal di tangan kirimu, dan tas kanan merogoh tas selempangmu, mencari-cari ID Card untuk absensi.
Kita baru berjalan tiga-empat langkah melewati papan tulis. Lima puluh delapan pasang mata dengan sigap melempar hujam pada kita. Sebagian masih membawa tanda tanya bersama ucap “Ada apa sebenarnya di antara kalian?”

Aku hanya tersenyum (lagi dan lagi) ketika menarik bangku di deretan paling depan.  Kamu berjalan ke tengah, dengan setiap detail gerakan yang menambah intensitas obsesiku atas pribadimu. “Good morning, Class.
Lalu kamu berbicara tentang hubungan seni pada manusia di masa lampau dengan seni pada abad ini. Mereka yang tadi mencibir kita mulai menguap bosan. Sebagian meringkuk dan terlelap dalam tidur. Tapi mataku tidak bisa tidak melekat pada tiap inci dari dirimu. Pikiranku memulai lagi imajinasi tentangmu, sembari terus-terusan menendang super-egoku yang terus berteriak. Usiamu mendekati kepala empat, dan aku sembilan belas. Tapi pikiranku terus berkelana, pada adegan-adegan manis aku dan kamu, yang menerjang kemustahilan dari dimensi kita yang berbeda serta menepak balik keengganannya berdialog dengan norma-norma yang kita pertahankan sembari pertanyakan.

4 komentar:

  1. I love this story! Saya menangkap kemustahilan hubungan dosen dan mahasiswa? Tapi disampaikan dengan baik dan tidak "cheesy" seperti cerita-cerita cinta pada umumnya (pandangan seseorang yang kelelahan dengan penyajian cerita cinta yang monoton). Good Job!

    BalasHapus
  2. Pilihan katanya bagus dan sangat sempurna dalam menjelaskan konflik batin dalam kepala. Good work, Le!

    BalasHapus
  3. what an outstanding story. carefully chosen diction. Indeed, you're talented to be a good writer. But, my question is: is it your personal experience? Gee, that's too sad to be true...:D

    BalasHapus
  4. terima kasih untuk komennya (: dan bukan, ini bukan personal experience. murni fiksi berangkat dari kekaguman biasa saja yang dieksagerasi oleh imajinasi. (:

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!