Oleh Rheza Aditya (@gravelfrobisher)
Perempuan itu memainkan biolanya.
Dengan senar yang berkerlap-kerlip, seolah bermandikan emas.
Dengan jemarinya yang lihai dia menggesekkan, memainkan, dan menyatu dengan biola tersebut. Tak satu pun gerakannya yang terlihat percuma, ataupun salah.
Kamu terkejut, bukan karena permainannya yang tampak begitu mengagumkan.
Tetapi karena kamu tak bisa mendengar apa-apa.
Meskipun perempuan itu bermain tepat didepan matamu, tepat dihadapan sosok tubuhmu yang berdiri dalam diam. Kamu tidak mendengarkan apa-apa. Tidak ada suara biola, tidak ada suara petikan senar yang sesekali dilakukan perempuan itu. Tidak ada suara hentakan kaki yang menginjak tanah, yang seharusnya berdentum pelan dan bergaung di gendang telingamu.
Kemudian perempuan itu akan menghentikan permainannya, dan menatap kearahmu dengan wajah bertanya-tanya. Bibirnya yang mungil mengerutkan sebuah ketidakpahaman, kemudian berganti menjadi seulas senyuman kecil yang manis.
Perempuan itu berkata, namun tetap tak bisa kau dengarkan. Kata-katanya seolah ditelan atmosfer; seolah dia tidak pernah berbicara; atau seolah kau dan dia berada dalam dimensi yang berbeda, terpisahkan oleh sebuah sekat transparan mirip kaca yang tak bisa kau sentuh atau rasakan.
Tapi kau bisa membaca gerak bibirnya yang perlahan, disela-sela senyuman dan kerutan bibirnya yang berganti, mengingatkanmu pada pergantian musim dingin menuju musim semi.
‘Apa yang kau lakukan disini?’ kau bisa membaca gerak bibir perempuan itu berkata.
Kamu akan terdiam sesaat, dan untuk pertama kalinya memperhatikan penampilan perempuan yang ada dihadapanmu. Dengan kulit yang putih mulus setengah terekspos oleh bajunya yang kelonggaran, dan dengan celana pendek selutut yang tampak lusuh oleh debu dan lumpur, kau tetap bisa merasakan aura kecantikan sejati terpancar dari dirinya.
Kamu berusaha menjawab, bahwa kamu juga tidak tahu apa yang kamu lakukan disini. Bahwa kamu sangat penasaran mengapa perempuan itu tidak mengeluarkan suara sama sekali, apapun yang dilakukannya.
Kamu tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya, dan kau juga tidak pernah melihat orang bermain biola dengan begitu…penuh. Bagaikan dirinya menyatu dengan musik apapun yang dimainkannya, dalam tempo apapun, dalam kecepatan apapun.
Kata-kata tak kunjung keluar dari bibirmu, dan kau bisa merasakan lidahmu semakin kelu dan terkunci didalam rongga mulutmu.
‘Kau menyukai musik yang kumainkan?’ adalah gerak bibir berikutnya yang kau baca dari perempuan itu.
Bingung, kamu kembali memikirkannya. Perempuan itu tampak tertawa singkat karena kamu tidak mampu menjawab pertanyaannya sama sekali, jangankan bergerak.
‘Musik adalah bahasa universal, kau tidak perlu mendengarnya untuk dapat memahaminya.’ Dirimu tersentak setelah mendengar ucapannya yang—lagi-lagi—tertelan udara, lenyap tanpa bekas. Gerak bibirnya yang barusan adalah yang terakhir, karena tiba-tiba pemandangan disekelilingmu runtuh, luntur bagaikan ketika kau menyemprotkan air ke permukaan yang berdebu.
Seketika itu juga, kamu terbangun dari tidurmu.
Kamu merasa pusing, dan kembali memikirkan perkataan terakhir yang terlontar dari gerak bibir perempuan tadi.
Musik adalah bahasa universal, kau tidak perlu mendengarnya untuk dapat memahaminya.
Dan seketika itu juga dirimu merinding; bulu kudukmu berdiri.
Mengapa? Karena sekarang kamu mengerti maksud dari perkataan perempuan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!