Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 19 Januari 2011

Sebuah Dialog Di Malam Hari

Oleh: Dilla D. P. (@dilladp)
http://dillasays.tumblr.com/




Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun rasa kantuk masih belum juga menghinggapi. Aku dan mama duduk berdua di ruang keluarga, layar televisi di depan kami menayangkan tayangan yang semakin tidak keruan dan tidak ada satupun dari kami yang memerhatikan. Kami berdua berbicara ngalor ngidul, membicarakan hal-hal yang seakan tidak pernah ada habisnya. Suara sayup-sayup dari televisi seakan menjadi backsound segala percakapan kami.
“Rin, kamu kalau habis shalat itu suka bersyukur ga?”
Pembicaraan yang tiba-tiba menyimpang dari topik sebelumnya, dan pertanyaan yang langsung menusuk seketika membuatku terdiam, berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Suka.." jawabku sekenanya, bingung mau menjawab apa. Aku tak berani menatap mata mama.
"Kok ‘suka’ doang? Kalo gitu berarti kamu gak pernah bersyukur dong, iya kan?” Tembak mama langsung. Beliau memang paling tahu kalau aku sedang berbohong. Aku mencoba berpikir, kapan terakhir kali aku berucap syukur. Aduhh..
"Tapi kan bersyukur gak harus lewat kata-kata aja, Ma. Bisa dengan selalu beribadah, berbuat baik..” aku berusaha untuk membela diri.
"Ya gak gitu juga dong, Rin. Sekarang kita ibaratin aja kayak gini. Misalnya, Mama beliin kamu baju.Tapi kamu diem aja, gak bilang apa-apa. Kamu bilang terima kasihnya di dalem hati. Memangnya enak perasaan Mama kalau digituin?”
"Kan aku bisa menunjukkannya dengan ngerawat baju itu.. Dibagus-bagusin deh pokoknya. Kan berarti aku menghargai pemberian Mama," aku tetap ngotot dengan segala argumenku.
Hening sejenak.
Mama memerhatikanku dengan pandangan penuh pengertian. “Memang, bersyukur bisa dilakukan dengan wujud apa saja. Dalam kasus yang tadi, kalau kamu gak bilang terima kasih, apa Mama tahu kalau kamu berterima kasih? Nggak kan? Bukan berarti kalau kamu gak bersyukur sama Tuhan, Tuhan gak tahu kalau kamu bersyukur. Tapi, apa susahnya sih memang bilang ‘alhamdulillah’ atau ‘terima kasih’?”
"Tapi aku juga kan pernah bersyukur..” Aku memotong perkataan Mama, sedikit kesal.
"Iya, tapi ‘pernah’ aja gak cukup, Arin. Bayangkan, selama tujuh belas tahun ini kamu hidup, kamu dikasih banyak kenikmatan setiap hari. Inget, Rin. Kenikmatan itu bukan hanya berupa materi. Tapi setiap nafas yang kamu hela, kesehatan kamu selama ini, makanan enak yang selama ini kamu makan, sampai kamu masih diberi kehangatan dan kasih sayang keluarga.. Masa dikasih segitu banyak cuma bersyukurnya sekali doang? Ini Tuhanmu loh Rin, yang memberikan kamu segalanya.."
Serentetan kalimat mama bertubi-tubi menghujam hatiku, betapa aku menyadari rendahnya diri ini di hadapan Tuhanku. Ya. Bagaimana bisa aku mendapatkan semua ini, tanpa sekali saja pernah bersyukur pada Tuhan yang memberikan segalanya? Bagaimana aku bisa bersikap begitu sombong akan segala yang aku miliki padahal itu semua hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil kapan saja?
Aku memejamkan mata, mencoba meresapi semua perkataan mama. Malam itu, untuk pertama kalinya aku bersyukur pada Tuhanku yang telah memberikan mama secantik dan sesoleh mama di hadapanku, yang telah mengingatkanku betapa pentingnya arti bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!