Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 19 Januari 2011

Wawancara

Oleh : @StephieAnindita


Hari itu hari pertamaku di stase jiwa dan jujur saja aku sangat gugup. Sebagai koasisten, tugasku adalah mewawancara pasien dan nanti melaporkannya pada dokter pembimbing. Aku berusaha tenang dan tersenyum ramah pada beberapa orang pasien yang menatapku dengan pandangan curiga ketika aku melangkahkan kaki masuk ke dalam bangsal perawatan pasien wanita. Aku melihat nama pasien yang harus aku wawancarai hari itu, Nona B, 20 tahun. Setelah bertanya pada  seorang kakak perawat, aku menghampiri seorang gadis yang sedang duduk-duduk di kursi plastik.
“Selamat pagi, Mbak!” sapaku.
Mbak B menatapku nanar. “Pagi dok ...”
Aku memperhatikan penampilan gadis itu. Tubuhnya sangat kurus sehingga tampak ringkih, ia mengenakan sweater hitam panjang dan celana baggy yang membuat tubuhnya semakin ‘tenggelam’.
Aku memperkenalkan diri. Kami berjabat tangan.
Tenang, jangan gugup ... aku berusaha santai. “Mbak B kenapa, kok dibawa kemari?”
“Saya juga enggak tau ...” kata Mbak B, tangannya menarik-narik lengan sweaternya. “Hhh!” tiba-tiba ia memukul lengannya sendiri.
“Lho, kenapa Mbak?” tanyaku. “Kok kelihatannya marah?”
“Kesel saya dok!” keluh Mbak B.
“Kesel sama siapa?”
“Ortu saya!”
“Kenapa? Boleh diceritain?”
“Saya enggak tau apa mau mereka!” Mbak B berkata, suaranya bergetar. “Mereka selalu complain sama badan saya yang katanya gendut kayak sapi, jelek dan kalau pakai baju apa-apa perutnya kemana-mana ... ya saya sadar saya memang jelek banget waktu gendut dulu, makanya saya mau kurus biar cantik, tapi enggak ada yang menghargai usaha saya! Saya malah dikatain macem-macem. Hik!” tiba-tiba Mbak B menangis. Aku duduk di sebelahnya, mengeluarkan tisu dari kantong dan memberikannya ke Mbak B.
“Gak apa-apa, Mbak ... keluarin aja ...” kataku. “Kalau belum siap cerita, tidak apa-apa ... Mbak istirahat dulu.”
“Enggak! Saya mau cepet keluar dari sini. Saya enggak mau digendutin di sini, terus-terusan dipaksa makan, enggak boleh minum obat pelangsing padahal perut saya sudah begah banget, saya mual dan mau muntah rasanya ...” Mbak B menghapus air matanya dengan marah. “Saya makin hari makin gendut, makin jelek... nanti keluar dari sini saya bakal diejek semua orang ...”
“Siapa yang bilang Mbak seperti itu?”
“Semuanya!!” Mbak B separuh berteriak. “Orangtua saya, teman-teman saya, sodara saya, mereka semua memperlakukan saya kayak bahan lawakan aja kalau saya gendut. Tiap hari disindir ‘si rakus’, kalau saya makan selalu diliatin seolah-olah saya ini freak show atau semacamnya ... pernah sekali di kantin ada yang sok-sok bikin suara ‘ngrok ngrok’ kayak suara babi waktu saya makan dan teman-teman saya yang lain ketawain saya ... sakit hati saya, dok! Sakit!”
“Makanya saya coba minum obat pelangsing, enggak makan, olahraga mati-matian sampai pingsan... tapi apa usaha saya itu dihargai? Enggak! Liat aja, saya malah dijeblosin ke rumah gila ini! Dikata saya enggak tau apa? Mereka sok-sok nangis, sok-sok peduli sama saya ... itu bohong! Mereka mau saya terus-terusan jelek biar saya diejek-ejek terus!” Mbak B berkata marah, matanya yang merah menatapku tajam. “Ah, udahlah! Dokter juga enggak bakalan mau ngerti, kan?”
Sebelum aku sempat berbicara, Mbak B keburu berdiri dan masuk ke salah satu ruangan. Pintu terbanting di belakangnya. Aku terpaku di tempatku duduk, tidak tahu harus bicara apa. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mulai mencatat apa yang aku dapat tadi di status pasien.

Menjelang siang, dokter pembimbing mengajakku dan beberapa koasisten lainnya ke sel isolasi. Di sana, kami menemui seorang pasien bernama Ibu L. Berlawanan dengan Mbak B yang aku temui tadi pagi, Ibu L tampak lebih tenang malah cenderung ramah. Sambil tersenyum manis ia menyapa kami semua. Setelah dokter pembimbing kami memperkenalkan diri, ia mulai mewawancari Ibu L.
“Ibu tahu tidak kenapa dibawa kemari?”
“Tahu.” Ibu L mengangguk.
“Kenapa?”
“Saya mengubur anak saya yang baru lahir.”
Aku mendengar seorang temanku menarik nafas terkejut. Ibu L tidak tampak terpengaruh, ia terus bercerita dengan tenang. “Ya habis gimana? Saya belum siap punya anak. Saya juga enggak mau hamil sebenernya ...”
“Kenapa tidak pakai KB kalau belum siap hamil?”
“Saya sudah minum pil, tapi tetap saja enggak pengaruh.”
“Minum pilnya teratur tidak?”
“He he he ...” Ibu L tertawa malu. “Suka lupa.”
“Waktu Ibu tahu Ibu hamil, terus apa yang Ibu lakukan?”
“Saya tanya ke temen saya ... dia yang ngasih tau saya gimana caranya ngeluarin anak itu. Dia dateng ke rumah saya dan bantuin saya selama prosesnya. Pas keluar sih untungnya enggak nangis sama sekali, makanya bisa langsung saya kubur. Saya kirain udah beres masalahnya. Ehh, enggak taunya ketahuan sama mertua saya... ”
Selanjutnya, dokter pembimbing kami mulai menanyai latar belakang keluarga Ibu L. Ibu L anak ke dua dari empat bersaudara, kakak-kakaknya semua perempuan, ia tidak pernah merasa dikucilkan atau dibeda-bedakan dari orangtuanya ... Ibu L menjawab semua pertanyaan dengan tenang, malah sesekali tertawa dan bercanda. Aku melirik ke arah seorang temanku, kebetulan ia sedang melirik ke arahku dan ia menggelengkan kepalanya dengan wajah ngeri.
“Saya menyesal sih ...” kata Ibu L akhirnya. “Tapi namanya belum siap. Mau gimana?”
“Ya sudah, untuk hari ini cukup sekian. Ibu boleh kembali ke kamar.” Kata dokter pembimbingku.
Seorang perawat membawa Ibu L kembali ke kamarnya. Setelah itu, dokter pembimbing kami memperbolehkan kami istirahat makan siang.
“Duh ... itu ibu-ibu beneran sadis banget! Loe liat gak tadi mukanya? Sama sekali enggak menyesal gitu ...” bisik temanku.
“Fiuh... lumayan juga untuk hari pertama di stase jiwa ...” gumamku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!