Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 29 Januari 2011

Demi Uang

oleh Septy Aprilliandary (@aprsept)


Semua penumpang angkot memandangku, aku bisa merasakan itu. Sia-sia kutahan air mata yang terus mendesak keluar. Mungkin penampilanku memang tak biasa, seorang remaja berjaket tebal, duduk di pinggir angkot disertai isakan tertahan dan mata sembap. Di hadapanku, kau terus berusaha menghentikan tangisku. Percuma, semakin kau membujukku, semakin basah pipiku.
Kau memohon padaku untuk berhenti menangis sebab tangisanku akan meresahkan hatimu nantinya. Benarkah? Bukan karena kau malu dengan penumpang angkot ini? Kau bilang, aku tak akan dimarahi orang rumah, bahwa kau yang akan menjelaskan bila aku pulang larut malam ini.
Bukan itu masalahnya. Aku membohongi mereka, orangtua angkatku, untukmu. Untuk keseribu kalinya hingga semua kata-kata bualan mengalir dengan lancar dari bibirku tanpa kusadari. Aku bukan pembohong ulung. Tapi untukmu, menerjang peluru perak pun akan kulakukan.
Angkot berhenti di depan sebuah perumahan elit, tempat beberapa temanku tinggal. Semoga saja bukan salah satu dari mereka, atau aku mati saat ini juga.
Dua tukang ojek mengantar kau dan aku ke sebuah rumah yang cukup besar. Dan sebuah melodrama pun dimulai...
Kau berbasa-basi sebentar, awalnya masih kebenaran, namun lama-lama semakin membual.
“Ayu belum bayar uang semester, Bu. Makanya saya minta Ibu jadi orangtua asuhnya Ayu.”
Uang semester ku berapa jumlahnya pun kau tak tahu, bukan? Dan kau tahu persis siapa penanggung biaya hidupku selama ini. Hidupku sudah lebih dari cukup.
“Dia sering minder, Bu. Katanya, ‘teman-teman Ayu orang berada semua, Ayu nggak selevel sama mereka’”
Bahkan curahan hatiku kau jadikan bualan.
“Tadi saja di angkot dia nangis, malu katanya, mau ketemu, Ibu.”
Kepalaku terangkat, bahkan airmataku juga?
Berikutnya, aku harus berpartisipasi dalam drama ini, mendengarkan petuah-petuah ibu-baik-hati yang (sayangnya) mudah dibohongi olehmu (dengan sangat menyesal, olehku juga). Bergumam, mengangguk, menjawab seadanya. Hanya itu tugasku, namun beban yang menghimpit dadaku tak kan terukur timbangan apapun. Akhirnya, kau terima juga amplop itu. Alasan kedatanganmu ke tempatku malam ini. Uang (yang katanya) untuk biaya semester kuliahku.
Drama malam ini berakhir, kau memanggil ojek untuk mengantar kita berdua ke depan perumahan. Kau berkeras ingin mengantarku sampai rumah. Tidak, jawabku, aku bisa pulang sendiri. Yang tak kukatakan adalah, ini sudah larut dan aku tak akan membiarkanmu mengantarku lalu pulang sendiri. Ah, dan kau sisipkan selembar lima puluh ribuan di kantong jaketku. Uang hasil bualan kita. Sisanya milikmu.
Tahukah kau, hal yang paling menyedihkan adalah mengetahui bahwa kau tega menjual kisah hidupku hanya untuk sejumlah uang yang bahkan tak cukup membayar biaya kuliahku satu semester. Dan aku bahkan tak bisa menolak untuk membantumu, memakimu, atau sekadar membencimu karena itu. Bagaimana bisa jika kau adalah ibuku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!