Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 31 Januari 2011

Hanya Untukku


oleh: Gisha Prathita (@geeshaa)
kamukayakuya.tumblr.com

“Suaramu merdu sekali, Indiana.” Kamu memujiku saat aku baru saja beres gladi resik untuk pertunjukkan Tribute to Enya nanti malam. Aku tersenyum, kamu selalu saja berkata bahwa suaraku seperti suara malaikat—jadi music New Age sangat cocok buat kunyanyikan, menurutmu.
“Kamu selalu memujiku, Raga, jangan buat aku terbang terlalu tinggi, aku ini hanya amatiran.” Tentu saja, aku hanya seorang murid dari tempat les menyanyi yang yah—memang cukup ternama sih, tapi aku bukan seorang murid berprestasi yang menjuarai lomba nyanyi di sana sini seperti rekanku yang lainnya.
“Amatiran atau tidak, menurutku itu urusan yang lain. Suaramu benar-benar membuatku merinding, dan seperti itu saja sudah cukup.” Kamu tersenyum. Raga, kamulah satu-satunya fans-ku yang kutahu. Kamu selalu saja begitu, memujiku secara gamblang.
“Ini pertunjukkan pertamaku, Ga. Doakan ya. Akhirnya aku dianggap layak untuk menyanyi di sebuah konser seperti ini, Ga. Lagunya May It Be, pula. Ini benar-benar kebanggaan buatku!” aku benar-benar girang saat itu.
Kamu mengangguk-angguk mengerti. “Ya, itu berarti suaramu akan banyak didengar oleh orang-orang yang datang menyaksikan konser ini kan? Kamu kelihatan sangat gembira sekali.” Kamu lalu berjalan mendekatiku yang kini sudah siap dengan kostum yang akan kukenakan saat konser nanti, sebuah gaun berwarna merah marun lengkap dengan sarung tangan sesikunya, hanya kurang make up dan tatanan rambut resmi saja. “Kamu yakin dengan konser ini?”
“Maksud kamu apa? Gak yakin? Jangan bercanda, Raga. Aku menginginkan untuk menyanyi di depan ratusan—bahkan ribuan orang. Itu mimpi para penyanyi!” aku merentangkan tanganku dan berputar sambil melihat ke sekeliling podium. Aku melihat para pemain musik sudah mulai keluar dari ruangan (calon) pertunjukan ini, sepertinya mereka lelah berlatih dan akan istirahat di ruang sebelah. Kini tinggal ada aku, dan kamu, Raga, di ruangan sebesar ini.
“Impian para penyanyi?” Kamu, Sang Pianis menggeleng-gelengkan kepalanya. “Menurutku itu bukan impian, Na. itu komersil. Kata-kata impian para penyanyi itu hanya ulah produser untuk membuat kalian mau dibayar untuk jadi penyanyi besar.”
“Kamu sendiri? Bukankah kamu juga punya mimpi untuk memperdengarkan alunan piano-mu kepada semua penggemarmu? Raga Salendro, Sang Pianis yang dijuluki Maxim Indonesia..” tanyaku heran. Aku mengernyitkan keningku.
“Itu bukan impian, Na. itu pekerjaanku, aku cari uang dari sini, dari caraku menekan-nekan tuts piano.” Jawabmu. “kalau kamu mau tahu impianku…” Kamu melihat ke arahku, kini kamu malah mengamit tanganku dengan lembut, lalu melepaskan sarung tangan dari sela-sela jariku. “aku hanya ingin memainkan piano untuk mengiringi nyanyian seseorang yang paling kukagumi, kucintai, dan selalu membuatku terpana dengan suaranya.” Kamu lalu mencium punggung tanganku, kemudian tersenyum ke arahku dengan penuh rasa hormat.
Aku tertawa canggung. Apa itu maksudnya aku? Hal ini membuatku salah tingkah. “Orang itu pasti beruntung sekali ya,” gumamku tanpa sadar.
Kamu tertawa. “Dan saat itu ia hanya bernyanyi untukku, tak ada orang lain di sana. Hanya ada aku, dan dia.” Setelah itu, kamu menatap mataku dengan tajam. Matamu yang bening menyiratkan suatu hal padaku.
“Apa?” tanyaku refleks.
“Satu hal lagi, aku tidak suka kalau orang itu menyanyi untuk orang lain.”
Aku mengernyitkan keningku. Apa maksudmu, Raga?
“Batalkan penampilanmu di konser ini, ya, Na.” jawabnya tiba-tiba, sepertinya kamu memang bisa membaca pikiranku.
“Kamu gila!” aku menampik keras tanganmu, kamu tampak sangat kaget. “Sudah kubilang ini impianku sejak dulu, Ga!”
“Kumohon, Indiana. Aku tak ingin sesuatu terjadi padamu karena hal ini…” suaramu terdengar memelas.
“Kamu bilang suaraku bagus!” aku mengotot.
“Bagus, memang suaramu sangat bagus.”
“Lalu kenapa?! Apa maksudmu bilang begitu?!” bilang saja, kalau suaraku memang bagus, tapi tak sebagus itu untuk layak menyanyi di depan hadapan para tamu-tamu konser kali ini!
Kamu tiba-tiba mematung di hadapanku, sorot matamu sedih. “aku—mohon, Na..” lalu kamu kembali melihat kea rah mataku. “Aku tidak rela suaramu yang merdu itu—diperdengarkan kepada orang-orang yang tidak mengerti arti dari sebuah nyanyian.”
Aku menghela napas panjang., lalu berbalik menuju ke tempat duduk untuk mengambil tasku dan bermaksud keluar dari ruangan ini. “Jangan egois, Ga!” aku protes saat tiba-tiba kamu kembali menggenggam tanganku dengan keras, tidak membiarkanku pergi dari ruangan itu. Aku berontak, entah kenapa aku jadi takut melihatmu, Raga. Ini tidak seperti dirimu yang biasanya!
Aku meronta-ronta, namun kamu mengunciku, memelukku dengan lembut, namun kokoh. “Kumohon, Na. Tenang, dan menyanyilah. Menyanyilah di sampingku, di dalam dekapanku. Sekali ini saja.” Ia mulai menciumi punggung leherku dengan lembut—apakah kamu galau?
“Kumohon, Na. sekali saja.”
Aku berpikir sejenak. Kamu ini kenapa? Tapi rasa kagumku terhadapmu membuatku luluh, aku tak tega melihatmu begitu memelas seperti kali ini. Akhirnya aku menyanyikan sebait lagu untukmu. Dan kamu mulai tenang, menutup mata, dan tersenyum.
“Terima kasih.” Kamu bergumam. “Suaramu yang terindah, untukku.”
Aku hanya tersenyum canggung.
“Suaramu itu… jangan kamu perdengarkan kepada orang lain ya? Jangan biarkan mereka tahu suara indahmu, nanti kamu hanya akan menjadi alat untuk memperkaya diri mereka sendiri.” Lanjutmu. Aku masih tidak mengerti maksudmu, sebenarnya.
“Aku akan tetap menyanyi di konser ini, Ga. Aku gak akan mundur,” aku bersikeras.
Seketika raut wajah Raga berubah menjadi sedih lagi. “Na, aku tidak mau terjadi apa-apa padamu..”
“Berhenti mengaturku, Raga! Kamu pikir kamu siapa?!” aku akhirnya tidak bisa membendung kejengkelanku.
“Aku penggemarmu. Nomor satu.” Kamu tersenyum. “Dan kamu hanya boleh menyanyi untukku, Na.” kali ini senyummu agak berbeda. Tatapan matamu kosong, tapi sangat jelas terlihat bahwa kamu sangat cemburu.
***
30 menit kemudian, di ruangan yang sama.
“Indiana? Kamu di sini?” Tanya seorang gadis yang sama-sama akan menjadi penyanyi di konser Tribute ini. “Aku mau pinjam maskaramu donk, di ruang rias gak ada yang bening soalnya.”
Gadis itu celingukan mencari temannya sesama penyanyi. “Naaa?” panggilnya lagi. Ia menemukan bahwa sepertinya dirinya sendirian di ruangan konser ini. Tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Ia terkesiap, menoleh ke arah kakinya yang menggunakan stiletto tersebut, dan menjerit sejadi-jadinya.
Ia nyaris pingsan, menemukan seorang gadis tergeletak tak bernyawa dengan darah yang membuat gaun merah marunnya semakin menyala—dengan seorang pria yang juga tak bernapas, memeluk erat di sampingnya, dengan sebilah pisau berlumuran darah di tangannya.
***
Dengan ini, tidak ada yang bisa mendengar suara merdumu lagi… selain aku—begitu pikirmu.
 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!