Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 17 Januari 2011

(Tidak) Normal

Oleh: Vera Citra Utami (@vecitra)

Pada awalnya, kami hanya sering bertemu. ’Bertemu’ dalam arti harafiahnya—raga yang berdekatan, dengan jiwa yang masih belum terikat erat. Sesuatu yang awalnya biasa-biasa saja—tapi pada akhirnya akan menjadi salah kaprah ketika kau mengetahui kenyataannya. Nila setitik saja, semuanya akan menjadi kacau balau.

Setiap kami berpapasan di kantin sekolah, aku merasa matanya mengunci padaku. Dia berhenti, mencariku, menatapku. Aku yang merasamenjadi target, jelalatan mencarinya. Sampai pada akhirnya mata kami bertemu—yang langsung kupalingkan lagi dan kuintip lewat ujung mata. Dan dia masih di sana.

Hari berikutnya, kejadian sama berulang. Hanya, beda tempat. Kami berpapasan di lorong pada saat pergantian jam pelajaran. Sistem moving class di sekolah kami membuat lorong penuh pada jam-jam seperti itu—dan dalam kondisi memungkinkan untuk bertemu dengan kawan beda kelas. Dan kali ini, dia tidak hanya menatapku. Dia juga tersenyum—setidaknya ia terlihat begitu—dan aku baru sadar bahwa dia itu, ehm, tampan juga.

Semenjak saat itu, hatiku menjadi tergerak. Aku jadi ingin tahu segala hal tentang dia. Namanya, kelasnya, klub ekstrakurikulernya—semuanya. Kutanya pada teman-temanku, dan, oh, aku mendapatkannya! Cukup mudah karena sahabatku itu memang biang gosip, dan ternyata orang itu termasuk cowok populer di sekolahku—bagaimana aku bisa tidak menyadarinya! Dan... namanya Randi. Salah satu anggota tim inti klub futsal. Sudah punya pacar—cantik, serius. Dan dia anak kelas XI IPA 9... Ah, pantas saja tidak kenal. Walau seangkatan, kelas kami jauh.

Dan, setiap hari aku selalu berharap untuk bertemu dengannya. Di mana saja boleh, kapan saja oke. Aku paling suka saat mata coklat jernihnya menatap mataku. Dan hatiku kadang tergetar begitu bibirnya menyunggingkan senyuman yang bisa membuat cewek-cewek bertekuk lutut. Kadang aku membalas senyumannya, kadang pula aku hanya lewat, pura-pura tidak memperdulikannya.

Suatu sore, saat aku baru selesai ujian susulan bahasa Jepang, aku melihat Randi berlatih futsal. Berdampingan dengan klub pemandu sorak—mereka berbagi lapangan. Riuh rendah teriakan anggota pemandu sorak yang, uh, entah berapa oktaf, tidak mematikan volume derap langkah anggota klub futsal yang sedang jogging dan pemanasan. Kadang aku mendengar teriakan Randi—”Ooooosh!”—dan tanpa sadar, aku duduk termangu di bebatuan pinggir lapang, mengambil ponselku, dan menekan tombil shutter dua kali. Oh—akhirnya kuambil juga. Lumayan, untuk koleksi pribadi. Aku paling suka pada orang-orang yang berotot, berkeringat, bajunya lengket, dan kulitnya hitam terbakar matahari—oh, tidakkah kalian pikir bahwa mereka—eksotis?

Kegiatan itu pun semakin lama semakin sering kulakukan—menguntit—ya, stalking, dan aku menjadi stalker-nya. Dan kuharap aku ini normal. Maksudku—semua orang melakukannya! Orang-orang mencari tahu nama, kesukaan, atau kegiatan orang-orang yang disukainya. Baik itu secara langsung—menguntit seperti ini, atau menjadi stalker timeline—setiap saat menatap gadgetnya demi munculnya sebuah username tersendiri. Ah, dasar.

Tapi sungguh, aku tidak merasa berdosa. Kurasa statusku sebagai penggemar rahasianya masih aman. Aku masih belum menjadi stalker tingkat akut—atau sudah, ya?—tapi kurasa aku bukan sesuatu yang dianggapnya sebagai beban. Tak pernah sekalipun dia terlihat risih ketika aku menatapnya—hei, bukankah dia duluan yang menatapku?

Dan—karena itulah, sahabatku bertanya padaku, ”Oh, kau masih sering mengikutinya? Ampun dasar, sumpah, kau benar-benar tak ada kerjaan, ya? Dengar—meski sepertinya aku satu-satunya di dunia, aku pasti akan mendukungmu. Aku serius. Demi kemajuan hubungan kalian. Ayolah, hampiri dia, ajak berkenalan, oke?”

Tanpa sadar aku tersenyum dan mengangguk. Sahabatku yang satu itu memang jenius! Sepertinya memang hanya sampai di sini, ya, kegiatan rahasia-rahasia kita. Sudah saatnya kita menyingkap benteng kasatmata di antara kita dan, maksudku, benar-benar bertemu, berkenalan, bertegur sapa—secara langsung. Entahlah, sang rindu terus mengetuk hatiku agar aku cepat-cepat menghancurkan benteng itu.

Dan akhirnya, aku menghampirinya secara langsung. Di tempat parkir, di bawah pohon rindang, setelah bel sekolah berbunyi.

”Hai,” sapaku. Aku tersenyum dan mengulurkan tangan. Dia balas tersenyum. Aku bisa melihat cahaya di matanya—seolah dia menanti saat-saat seperti ini. Ah! Aku benar, kan, kau suka padaku, kan? Kalau tidak, kenapa kau meremas tanganku begini erat?

”Ha-halo... Gue Randi. Kita—kita sering ketemu, ’kan?” Tangannya dingin, suaranya bergetar. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman. Aku tahu hatinya bergetar hebat—

”Iya, bener. Salam kenal ya, Ndi. Gue dari IPS 1. Gue—“

“Randi—“ cewek mungil yang alisnya bertautan menginterupsi percakapan kami, “—ngapain kamu pegang-pegangan tangan sama si Darma?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!