Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 29 Januari 2011

Ketika Butiran Lebih Berharga Dari Lembaran-UANG

Oleh: Rheza Aditya (@gravelfrobisher)



Selembar…Dua lembar…
Aku memperhatikan dengan seksama seraya pedagang ikan itu menghitung jumlah lembaran kertas yang ada di tangannya. Wajahnya terlihat puas meskipun keringat membasahi dan menjadi bukti kuat akan dirinya yang sudah lelah. Lembaran-lembaran kertas berbeda warna tersebut kemudian dilipatnya, dan dimasukkannya kedalam saku.
Sebuah ‘terima kasih’ terlontar dari bibirnya, yang disambut dengan senyuman dan anggukan kecil dari sang pembeli.
Setelah memajang tampang puas, si pedagang akhirnya menaruh pandangannya kepada diriku. Sebelah alisnya terangkat. Kemudian matanya menyipit dan kembali lagi kulihat seulas senyum itu; senyum yang sama dengan yang dipamerkannya kepada puluhan—mungkin ratusan—pembeli yang menghampiri kios sederhananya.
Dengan tangan gemetar kusodorkan tangan kananku, menunggu dengan pasrah ketika si pedagang melihat dan menghitung jumlah ikan yang hendak kubeli. Dia kembali melontarkan senyum terbaiknya; gigi-giginya yang kekuningan dan kaya akan tambalan bagaikan minta kusodok dengan sikat gigi ketika dia menampilkannya.
“Semuanya lima puluh ribu, mas.” Kata si pedagang itu, menyodorkan sekantung plastik hitam yang berisi semua benda yang ingin kubeli tadi.
Aku membuka kepalan tangan kananku, dan menaruhnya di atas meja.
Sesuai dugaanku, si pedagang langsung memadamkan senyumnya, dan kembali mengangkat kedua alis miliknya yang tebal dan berwarna hitam.
“Mas…jadinya lima puluh ribu rupiah,” ulangnya dengan sabar, berusaha menahan emosi yang sepertinya menjadi sumber utama munculnya urat-urat kecil di sekitar wajahnya.
Aku menunjuk ke arah benda yang tadi kutaruh di atas meja.
“Aku sudah membayarnya,” kataku yakin, meski sedikit ketakutan dengan gelagat dan postur tubuh si pedagang yang kekar dan menakutkan.
BRAK!
Kesabaran pedagang itu habis sudah. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, namun tidak kusangka akan terjadi secepat ini. Aku bahkan belum sempat menjelaskan apapun tentang tindakanku yang memang sedikit absurd tadi. Seketika aku merasa kerah bajuku dicengkram, dan meja pedagang tersebut langsung berantakan karena tindakan cepat pemiliknya yang agresif.
“Mas menghina saya ya??” matanya membelalak, dan cengkraman tangannya sangat kuat sampai-sampai aku kesulitan bernafas.
Dengan seluruh kekuatanku, aku menepis tangannya yang kokoh itu. Aku cukup beruntung karena si pedagang tidak langsung melancarkan serangan kedua, memberikanku waktu yang cukup untuk sejenak membenahi nafasku yang berantakan. Kalau saja aku tidak menepisnya tadi, mungkin sekarang aku sudah mati kehabisan nafas.
“Saya sudah membayar,” aku memulai penjelasanku, mencoba menjinakkan sisi pedagang itu yang tadi sempat mengganas. Aku harus bisa menerangkannya dan membujuknya, sebab kalau tidak aku hanya akan menanggung malu menjadi tontonan satu pasar.
Dia meraih benda yang tadi kutaruh di atas mejanya. Dengan kasar, disentakan benda tersebut, yang langsung menyebar diatas lantai tempatku berpijak. Tenaga lemparannya begitu kuat sehingga benda tersebut bahkan sudah hilang dari tempatnya dilemparkan, memantul diantara lantai dan dinding, bersembunyi di balik celah-celah dan kegelapan.
Kemudian, tampak masih belum puas dengan reaksiku yang datar, dia merogoh kantung celananya, menarik keluar beberapa lembar kertas yang tadi dia dapatkan sebagai pembayaran untuk beberapa ekor ikan yang Ia jual.
“Ini baru yang namanya membayar!” seketika aku yakin dirinya sudah begitu marah, sampai-sampai tidak mampu menyusun kata-kata yang lebih intelek atau lebih berkualitas daripada susunan lima kata fundamental yang bisa saja dilontarkan oleh anak SD tersebut.
Aku menghela nafas, sedikit lega karena semuanya berjalan sesuai dengan perkiraanku.
“Pak,” gumamku dengan suara yang masih serak. “Apalah artinya lembaran kertas itu?”
Aku merogoh kantong celanaku, dan menarik keluar sebuah benda bersekat yang dapat dilipat menjadi dua; dompetku. Dengan jemariku yang masih sedikit kaku, aku mengeluarkan beberapa lembaran berwarna biru dari dalamnya, merasa lelah.
Aku merobeknya.
Selembar…Dua lembar…Tiga lembar…
Habis tak tersisa.
Sekarang giliran si pedagang yang menatapku tidak percaya. Amarahnya yang tadi lenyap sudah. Dia malah melihatku dengan pandangan seolah-olah aku ini orang sakit yang perlu pertolongan medis dan psikis lebih lanjut.
“Saya tidak bisa makan dengan kertas berwarna hijau, biru, ataupun merah.” Aku mencoba menyampaikan logikaku kepada pedagang itu, dan semua orang yang sedang menonton ‘atraksi’ kami berdua seolah kami sedang memerankan drama sinetron.
Aku berjongkok, memunguti sisa-sisa benda yang tadi dilempar oleh si pedagang. Hatiku remuk melihat betapa orang-orang menyia-nyiakan benda seperti ini, dan lebih memilih beberapa lembaran kertas—yang bahkan bisa rusak kalau terkena air—sebagai alasan bekerja dan membanting tulang.
Aku, dengan tanganku sudah penuh dengan—sebagian besar—benda yang kupunguti tadi, menatap si pedagang dengan tatapan penuh belas kasihan. Sungguh, aku merasa mereka manusia, perlu mendapatkan pendidikan mendasar lagi. Benar-benar dari dasar, tentang bagaimana cara bertahan hidup.
“Tapi aku, bapak, dan semua orang yang ada disini, bisa makan dengan benda ini.” Tegasku, kembali menyodorkan tanganku.
Kubuka kepalan tanganku, dan kutunjukkan apa yang ada di sana kepada semua orang yang menonton.
Segenggam penuh beras.
Beras, yang akan menjadi nasi.
Nasi, yang akan menjadi energi.
Energi, yang membentuk kehidupan.
Bukan lembaran kertas warna-warni dengan wajah orang tercetak di atasnya, yang menimbulkan iri dengki.
Aku tersenyum, yakin bahwa teoriku sudah tersampaikan dan menyentuh hati semua orang yang memperhatikan tindak tandukku.
Kembali kusodorkan tanganku.
Yang membuatku terkejut adalah,
Betapa pedagang tersebut kembali menepis tanganku.
Dan menghubungi Rumah Sakit Jiwa setelahnya.
Apakah aku gila?
Tidak.
Mereka! Kamu! Kalian! Kalian semua yang gila!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!