Oleh: Yuska Vonita (@yuska77)
Detik demi detik berlalu seiring detak jantungku yang melemah. Tuhan, apakah ini saatnya? Mengapa hanya putih yang kulihat? Samar-samar kudengar suara ibu, ayah dan kakak terisak. Apakah ini mimpi, Tuhan?
Ah, dimanakah malaikat sakratul maut yang akan menjemputku? Tak kulihat kereta kencana dan kuda putih di depan sana. Tak juga kulihat cahaya yang menerangi terowongan gelap nan panjang. Apakah sampai disini bab terakhir dalam hidupku?
Debut Sang Bintang
Juni 2008. Liburan musim panas. Aku, Adinda Prameswara, putri bungsu kesayangan ayah dan ibu, pulang ke Jakarta untuk menikmati empat minggu study free di mall dan café baru yang belum pernah kudatangi. Kakakku, Dimas Abimanyu, kuliah di New York. Kami tinggal satu apartemen. Tapi ia memilih untuk mengikuti kuliah semester pendek karena ingin cepat lulus.
Aku hang out sama Mia, Santi dan Leslie, sahabatku di SMP. Mereka girang setengah mati menyambut kepulanganku di bandara. Tentu saja aku membawa sekoper oleh-oleh untuk mereka.
Hari-hari aku habiskan di mall dan café bersama mereka. Saat kami sedang tertawa dan bercanda membicarakan teman lama kami yang super cupu, seseorang mendatangi meja kami dan mengulurkan tangannya.
“Kenalkan, nama saya Rince,” sambil menyibakkan rambut bobnya yang klimis. Walaupun ia berjenis kelamin pria, ia terlihat anggun, gemulai dan kenes. Akhirnya aku tahu pekerjaannya sebagai talent manager sebuah perusahaan agensi model bergengsi di Jakarta. Sejak saat itu, aku dibawanya kemana-mana untuk mengikuti casting iklan di majalah dan televisi. Hasilnya? Dalam waktu tiga minggu, lima pemotretan rubrik fashion di majalah remaja dan dua buah iklan produk mobil dan makanan ringan berhasil kubintangi.
Tak terasa liburan musim panas hampir berakhir. Sementara Rince kewalahan menerima tawaran video klip dan iklan untukku. Aku menikmati hasil kerjaku. Walaupun orangtuaku mampu memberikan lebih dari honor yang kudapat, tapi aku sangat bangga pada diriku sendiri yang bisa menghasilkan uang yang kalau aku beri tahu jumlahnya bakalan membuat mata teman-temanku melotot.
“Bu, aku nggak mau balik ke New York. Aku kerasan disini. Lagipula, banyak banget job yang mau aku ambil. Boleh ya?” Ibu dan ayah saling berpandangan. Mereka mengangguk setuju. Sebetulnya, ayah sangat berambisi menyekolahkan anaknya ke Yale, salah satu universitas paling bergengsi di Amerika. Tapi, aku sudah tak memikirkan Yale atau Brown. Aku harus menjadi seseorang di negeriku sendiri. Dan aku yakin, aku bisa meraihnya, dengan waktu yang singkat.
Gelapnya Dunia Gemerlap
“Say, tar malem jangan lupa kita ke Gitz ya, Pak Benny pengen ketemu langsung soalnya.” Rince mengingatkanku akan janji yang harus aku penuhi. Pak Benny adalah salah satu klien terbesar kantor Rince. Ia tak pernah pelit memberikan honor kepada anak buah Rince. Tentu saja, aku sebagai model yang akan diorbitkannya harus memenuhi permintaan beliau.
Jadilah kami pergi malam itu bertiga. Aku, Rince dan Acep, supir kantor. Aku sempat ke salon sebelum dijemput Rince. Ia pun membawa beberapa potong gaun untuk kukekanakan malam itu. Everything has to be perfect.
Pak Benny menyambut kami di private lounge Gitz atas namanya. Aku dikenalkan dengan beberapa pria sebaya Pak Benny yang aku pun tak ingat namanya. Setelah berhaha hihi dengan Rince, aku ijin sebentar ke toilet untuk membenahi rambut dan dandananku yang sudah luntur karena keringat. Tiba-tiba kepalaku berputar dan aku merasa mual. Apakah karena minuman itu? Ah, tapi aku tidak meminum minuman beralkohol. Tiba-tiba aku oleng dan terjatuh. Yang kulihat hanya gelap.
Bintang Bersinar Dikegelapan
Dalam waktu singkat namaku meroket sebagai model dan peragawati papan atas. Aku terkenal luwes, mudah bekerjasama dan gampang sekali diarahkan. Jadwalku padat dari Senin hingga Minggu. Belum lagi undangan pesta di semua klub eksklusif langganan para jet set di Jakarta hingga Singapura. Namaku menjadi jaminan untuk dijadikan host dan dipampang dalam poster promosi berbagai acara. Aku, Adinda, si bintang muda, wajah segar dunia model Indonesia. Duniaku mulai bergeser dari mall ke klub, dari kamar tidur di Pondok Indah ke Suite di Thamrin.
Aku juga mulai menikmati dunia gemerlap. Semua orang memujaku, mulai Rince, Pak Benny dan klien lainnya, sutradara, make up artist, desainer, dan tentu saja para pria dan penggemar. Dan aku, menjadi penggemar setia drugs. Mulai dari butiran-butiran kecil berwarna biru, pink, sampai serbuk putih yang kuhirup melalui lubang hidungku. Tanpa benda-benda tersebut, aku tak bisa menikmati pesta, dan bintang tak akan berpijar sedemikian terangnya. Aku merasa berada di puncak dunia paling tinggi, dan mampu meraih bintang paling terang dengan ujung jari. Ya, aku, Adinda si pemenang. Tak ada saingan.
Bintang Jatuh
Aku mulai tak percaya diri. Para klien mulai mencari wajah-wajah baru yang lebih segar. Para penggemar mencari pujaan baru, dan Rince berpikir sudah saatnya aku turun tahta. Habis manis sepah dibuang.
“Aku masih cantik, Rin. Lihat, nih! Lihat! Aku juga langsing, mana ada lemak ditubuhku?”
“Iya, kamu kurus, kayak tengkorak. Mata kamu hitam, dan beler. Rambut kamu acak-acakan, dan ih … badan kamu bau! Nggak pernah mandi. Mana ada klien atau disainer yang mau pake kamu, Din? Jijik tahu nggak?” Rince mencibir seakan-akan melihat seonggok kotoran. Aku berteriak protes. Tak ada yang boleh merampas bintangku, tak ada yang pantas menduduki tahtaku, tak ada yang bisa menandingi kecantikanku. Aku, Adinda, sang ratu iklan dan video klip. Kulempar stiletto merahku ke arah Rince. Meleset. Lemparanku mengenai cermin dan pecahannya melukai wajahku. Kurasakan setitik darah menetes dari pipiku. Aku tersedu. Kuraih laci meja rias, ku meraba plastik kecil berisi bubuk putih, sahabatku, dan kunyalakan api dibawah lembar aluminium dan kuhirup perlahan. Aku melayang.
Bab Terakhir Sang Bintang
Tiga tahun lamanya aku berteman dengan si putih. Tiga tahun lamanya aku terlunta-lunta di rumah susun. Tiga tahun lamanya ayah, ibu dan kak Dimas tak pernah tahu kabarku. Lebih tepatnya, mereka membuangku. Setelah berita tentang aku sebagai pemakai si putih dan sudah sampai taraf yang memprihatinkan, satu per satu teman menjauhiku. Aku tidak kuliah, aku tidak bekerja. Aku setengah gila berada di rumah orang tuaku. Saat aku sedang berada di titik nol dan harga diriku berada di minus tujuh, aku melakukan ritual “pemujaan” terhadap si putih. Tiba-tiba ibu masuk ke kamarku tanpa mengetuk terlebih dahulu dan ia memergokiku sedang menyuntik urat nadiku. Ibu histeris dan aku menertawakannya.
Aku dikurung, atau tepatnya dipasung di rumah orang tuaku. Mereka tak punya muka untuk membawaku ke pusat rehabilitasi.
“Nama baik Ayah bisa tercoreng, Dinda. Dan kamu, bukannya kamu terkenal, hah? Nggak malu mukamu muncul di infotainment sebagai pecandu narkoba?” bentak Ayah kepadaku. Dokter dan suster bergantian datang ke rumah untuk mengobatiku. Hasilnya? Aku makin gila.
Aku tak tahan dan aku meminta Dadok, pemasok si putih untuk menjemputku dengan motor. Tepat pukul dua malam, aku memanjat jendela dan pagar, lalu aku lari bersamanya. Aku bebas.
Bersama Dadok aku menempati kamar sempit di rumah susun yang dindingnya lembab dan berlumut. Tapi aku bebas melakukan ritual pemujaanku. Aku mencintaimu, putih, aku tak bisa lepas darimu.
Suatu malam, aku terlalu banyak menyuntikkan si putih sampai tak sadarkan diri. Saat kubuka mata, aku berada entah dimana. Samar-samar kulihat ibu, ayah dan kak Dimas. Sementara tubuhku lemah terkulai di atas pembaringan, lenganku diinfus. Aku tak berdaya.
Dengan nafas tersengal, kuraih lengan ibu dan kudekap di dada. Perlahan ku kecup jari jemari ibu, sambil menitikkan air mata, aku berkata, “Maafkan Dinda, ibu.”
Setelah itu, aku tak melihat apa-apa, hanya putih dan kosong.
Tuhan, Engkaulah yang bisa menjadikanku pemenang, saat ini juga. Ijinkan aku untuk meraih satu bintang terang. Sekali ini saja.
**********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!