Oleh: Allamanda cathartica (cathartica.tumblr.com)
.
Aku tahu ketika gelap mengukung, sebenarnya tak ada apa-apa selain hening yang menggema. Dia datang dari berbagai penjuru, utara timur selatan barat. Tidak memberi celah bahkan kepada Aeolus yang ingin singgah sejenak. Dia bertemankan Purnama, yang jadi satu-satunya cahaya. Menelusup ke luar jendela. Ikut berbaring dalam ketiadaan. Menjadikan atmosfer lebih berat dari sebelumnya. Aku mengintip dari balik jendela. Oh, tunggu, jendelanya juga sudah kututup dengan kayu. Mana mungkin aku bisa melihat keluar. Tunggu. Berarti tadi itu cahaya apa. Purnama tidak mungkin menelusup masuk. Apa aku yang salah lihat.
Kemudian aku berpaling kepada kamar tempatku berada. Kotak persegi berpintu usang. Berubin kelam. Berapa tahun aku di sini. Berapa hari yang kulewati. Aku lupa. Orang itu bilang sebaiknya aku mulai menulis buku harian. Tapi menurutku buku harian itu hanya menambah sentimentil. Aku tidak perlu yang seperti itu. Bagiku, yang penting adalah bagaimana aku bisa terbiasa berada di sini. Sebab, ya, sebab meski telah bertahun-tahun, aku tahu aku tak akan terbiasa dalam sentuhan gelap. Anehnya lagi, tiap kali aku menutup mata aku merasa gelap berubah jadi makhluk menakutkan. Dia bukan setan. Dia bukan malaikat kematian. Juga bukan siapa-siapa.
Melainkan diriku, ya diriku.
Ada satu ketukan datang dari arah pintu. Mataku langsung terbuka lebar. Napasku seperti orang dikejar kalongwewe. Kepalaku mulai pusing. Lagi-lagi aku melihat gelap. Yang tak punya bayangan. Yang tak punya cahaya. Yang tak punya apa-apa.
Seperti diriku.
.
Kamu tidak akan kemana-mana, bisiknya, kamu tidak perlu takut. Ya dunia luar itu memang kejam, tapi kamu punya aku.
.
Bisik-bisik itu datang seiring ketukan yang makin keras.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!