Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 15 Januari 2011

Aku Hidup Lagi


Oleh raining.linn77@gmail.com


Apa arti musik untukmu? Jawabannya pasti beragam. Ada yang bilang musik itu teman setia dikala belajar, membaca, menulis, atau pacaran di dalam mobil saat turun hujan.
Ada juga yang menganggap musik sebagai pencaharian.
Bagiku, musik adalah hidupku, nafasku, gerak tangan dan juga langkahku. Di dalam musik aku melihat masa depan.

Tapi sekarang, aku tak tahu apa artinya musik. Aku tak pernah mendengarkan radio, menonton acara musik di TV, memetik gitar atau mengadakan resital piano.
Sudah dua tahun aku tak pernah menjamah musik, dan musik terasa jauh bagiku.

Malam itu, aku dan teman-temanku menghadiri acara ulang tahun Dio di suatu kafe di tengah kota. Dio adalah salah seorang temanku, tapi kami tidak pernah akrab dalam arti sebenarnya. Ia suka dunia malam, aku sudah terlelap jam 8. Ia suka mendengarkan alunan musik remix hasil racikan DJ ternama, aku mendekam di kamar sambil menelisik nada-nada indah Moonlight Sonata. Ia tergila-gila dengan lampu disko, dan aku terpukau melihat lautan bintang di angkasa.

Ya, kami terlahir dari dua kutub yang berjauhan, tak mampu menggapai satu sama lain. Tak akan pernah.

Malam itu, Dinar, Ayu dan Pasha berpesta pora, bertingkah macam orang gila. Aku yang terpaksa ikut karena sudah janji menemani Ayu hanya bisa pasrah duduk di dekat jendela. Sudah hampir pagi. Aku menatap jam dinding lalu gelisah tak keruan. Aku harus pulang, sekarang juga. Dua hari lagi, konser resital pianoku di Aula Anugerah. Aku sudah bekerja keras sepanjang semester 3 untuk menguasai Piano Concerto No. 3 (Rachmaninoff) yang terkenal sulit, tapi aku ingin membuktikan pada diriku sendiri untuk menaklukkan komposisi lagu tersebut. Aku yakin akan jadi pemenang.

Aku sudah tak tahan dan tak sabar untuk segera angkat kaki dari sana. Bau alkohol dan asap rokok dari mulut para hedonis menyeruak, membuatku muak dan mual, ingin muntah.

Ku gamit lengan Ayu dan berbicara dengannya.
"Sudah jam 3 pagi, kita pulang yuk." Ayu menatapku dengan mata nanar dan tidak fokus, lalu ia tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Kamu kayak anak TK aja, masih jam segini, malu sama pintu." Ayu terhuyung-huyung menghampiri Pasha yang asik menenggak vodka orange yang entah sudah berapa gelas. Aku tak peduli lagi. Kalau mereka masih betah di neraka jahanam ini, aku bersedia angkat kaki.

Belum sampai pintu keluar, Pasha, Ayu dan Dinar sudah berada di belakangku. Ku tatap mereka dengan pandangan marah.

"Ok, ok, tuan puteri. Yuk, pulang, yuk!" Dinar terkekeh meledekku. Dasar pemabuk, makiku dalam hati.

Dinar mengeluarkan kunci mobil Accord hitamnya, membuka pintu mobil dan menyalakan mesin. Saat itu jantungku berdegup kencang. Aku tak percaya padanya. Kusampirkan tas putih kesayanganku dan aku berjalan menuju jalan raya.

"Hey, mau kemana kamu?" teriak Ayu. Aku membalikkan badan lalu membalas teriakannya.

"Mau cari taksi, daripada aku celaka."

Ayu dan Pasha yang berdiri di belakangnya tertawa keras. Kurang ajar, makiku dalam hati. Dalam keadaan seperti ini mereka masih bercanda. Sadar apa nggak sih mereka kalau Dinar lagi mabuk berat?

"Udah deh, mana ada taksi jam segini? Yang ada pocong, kuntilanak ama suster ngesot. Ayo balik kemari." Pasha merayuku.

Tuhan, aku tak ada pilihan lain. Yang kutakutkan bukannya demit dan setan, lebih buruk lagi. Kalau ada perampok atau pemerkosa, aku yang akan menyesal.

Kuhempaskan tubuhku di bangku belakang sambil mengatupkan mulutku. Rasanya ingin kutampar mereka satu per satu.

Dinar mulai menggerakkan mobil perlahan, perlahan, perlahan. Tiba-tiba ia tancap gas sampai aku harus memegang pegangan pintu.

Tuhan, jagalah kami. Aku tak mau mati sebelum waktunya. Aku memanjatkan doa.

Kututup mataku sambil menggumamkan ayat-ayat suci. Aku tak mau mati. Sungguh.

Tiba-tiba, mobil oleng. Aku merasa pusing. Perutku terasa diguncang dan diaduk-aduk. Kubuka mataku dan tiba-tiba, aku terpelanting ke depan. Gelap. Aku tak ingat apa-apa.

Sejak saat itu, aku tak mau lagi menyentuh piano putihku. Aku tak ingin mendengarkan De Bussy dan aku sudah lempar CD playerku keluar jendela.

Sayup-sayup terdengar denting piano di bawah.

Kulihat diriku memainkan nada-nada Moonlight Sonata dengan lincah.
Apa benar aku sudah di surga? Apa masih di neraka.

Kubuka jendela, kukeluarkan tangan, kaki dan badanku. Biarkan aku bebas, kali ini saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!