Sudah puluhan kali Siska bolak – balik di dalam kamarnya, memikirkan apa yang harus dia lakukan sekarang. Baru saja dia mendengarkan percakapan antara Papanya dengan pengacara beliau, sebuah percakapan yang membuat jantung Siska serasa jatuh ke dalam perutnya. Ayahnya baru saja ditipu oleh rekan kerjanya, perusahaannya disita oleh bank untuk menutupi semua hutangnya. Rumah, mobil, dan seluruh harta bendanya pun terancam akan disita oleh bank juga. Tidak tahan mendengar semua itu, Siska lari ke kamar, dan disinilah dia sekarang.
Dia sudah menentukan arahnya, dia berjalan menuju ke lemari pakaiannya, menjangkau ke atasnya dan menarik sebuah koper yang ukurannya terlalu besar untuk diangkat oleh tubuh 16 tahunnya. Sempoyongan menerima koper dari atas lemari, Siska terduduk. Berpikir sejenak, lalu memutuskan barang apa saja yang akan dia bawa. Lalu, dia memasukkan sebanyak mungkin barang – barangnya yang paling mahal. Louboutin, Jimmy Choo, Prada, Dior, Chanel, Louis Vuitton, semuanya tersusun rapi di dalam koper sekarang. Terakhir dia masukkan 5 buah handphone nya, beserta seluruh gadget canggih dan macbook-air-nya.
Semua beres, Siska menyeret perlahan kopernya ke luar kamar. Setelah menoleh kanan – kiri memastikan tidak ada yang melihatnya, dia berjalan nyaris tanpa bunyi, berusaha seminimal mungkin membebankan berat tubuhnya ke lantai marmer di bawahnya. Sesampainya di pintu gerbang, satpam bertanya padanya “Mau pergi kemana, Non? Kok bawa koper gede banget?”
Siska hanya menjawab asal, “Camping” sebelum dia masuk ke dalam taksi yang sudah dipesannya saat masih dalam kamar tadi.
“Senen, Pak” katanya pada sopir, menunjukkan kemana dia akan pergi.
Disanalah tujuannya, sebuah toko yang masih berada di sekitaran Atrium Senen. Toko tempat memperjual belikan pakaian bekas bermerek yang beberapa waktu lalu Siska lihat artikel tentangnya di sebuah majalah remaja. Sesampainya disana, Siska menyuruh sopir taksi untuk menunggu. Dia masuk ke dalam toko, celingak – celinguk takut ada seseorang yang mengenalnya. Perlahan dia menghampiri kasir disana, tempat seorang ibu muda cantik tersenyum ramah padanya.
Dengan susah payah dia mengangkat kopernya ke atas meja, membuka koper dan berkata kepada pemilik toko itu “Saya pengen jual ini semua”
Pemilik toko diam, menunjukkan ekspresi kaget seolah ada yang ingin melamarnya untuk kesekian kali.
“Tanpa ini tentunya”, tambah Siska, mengambil semua peralatan elektroniknya.
“Yakin?” tanya si pemilik toko masih sedikit keheranan. Di benaknya bertanya – tanya, ini anak habis nyolong apa gimana yah? Tapi gak mungkin lah tampang kaya raya gitu nyolong, palingan cuma kabur dari rumah. Ya sudahlah, urusan dia ini.
“Yap, berapa semua?” tanya Siska.
“Hmm... 20juta” jawab si pemilik toko setelah menimbang – nimbang beberapa saat.
“Whatttt?!!!!” tanya Siska kaget, “Saya nggak bego ya mbak, ini semua barang asli. Dan nilainya lebih dari 100juta” tambahnya
“Gini ya, dek... ini kan barang bekas, lagian saya juga gak tau asal – usul barang – barang ini. Jadi ya saya cuma bisa ngasih segitu” jawab si pemilik toko lembut, menutupi pikiran liciknya yang merasa menang bagai singa mendapati anak rusa yang tersesat sendirian di tengah hutan.
“Ini punya saya kok, sumpah deh. Lagian palingan juga baru saya pakai beberapa kali” kata Siska meyakinkan
“Ya udah, gini deh... saya cuma mampu bayar 25. Kalo adek mau ya oke, kalo nggak ya maaf” si pemilik toko memberi tawaran akhir pada tawar – menawar ini yang dia ketahui pasti akan dimenangkannya.
“Oke deh, tapi cash” kata Siska muram.
Setelah mendapatkan uang dari pemilik toko pakaian bekas, Siska kembali ke taksi dan menuju pusat pertokoan dimana dia akan menjual semua barang elektroniknya. Uang hasil penjualan barang – barang elektroniknya pun tidak jauh berbeda dengan hasil menjual semua pakaian, sepatu, dan aksesorisnya tadi.
Siska pulang dengan perasaan sedih, dia membuka pintu dengan lemah. Saat melewati ruang keluarga, dia disambut oleh Mamanya. “Kamu dari mana? Kata pak Sapto kamu pergi bawa koper, hape kamu matiin semua” cerocos Mamanya khawatir.
Siska membuka tote bag-nya, satu – satunya tas yang dia punya sekarang dan menyerahkan semua uang hasil penjualan barang – barangnya ke Mamanya. Mamanya pun bingung, “Apa ini? Terus dimana koper kamu?”
“Semuanya udah Siska jual, Siska gak sengaja denger pembicaraan Papa sama Om Broto. Katanya Papa bangkrut, jadi Siska jual semua barang Siska buat bantu Papa pertahanin perusahaan kita” kata Siska yang kemudian tidak tahan meneteskan air matanya.
Mamanya menghela nafas panjang dan merosot ke sofa, sedangkan papanya yang daritadi diam memperhatikannya dari jauh sekarang menghampirinya dan tersenyum sambil berkata “Sayang, kamu salah paham. Kamu hanya mendengar sebagian dari obrolan Papa dan Om Broto”.
Siska yang sekarang kebingungan, memandang Om Broto, pengacara Papanya yang malah terkikik geli. Lalu memandang Papanya dan bertanya “Maksud Papa?”
“Semua yang kamu dengar, tentang kebangkrutan Papa tadi benar. Tapi, sebelum semua pembicaraan itu ada kata yang tidak kamu dengar, yaitu... ‘Seandainya’. Papa tidak bangkrut, Sayang” ucap Papanya sambil memeluknya.
Siska menangis sejadi – jadinya, entah karena menyesal telah menjual semua barang – barang mahalnya atau karena lega tidak jadi miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!