Oleh NADYA EKA PUTRI PERMADI
(@nadyanadepp)
Aku tersadar dan langsung merasa disoriented. Dimana aku? Apa..yang terjadi? Aku memandang sekeliling ruangan dan yang ku temukan malah jarum infus yang tertancap di pergelangan tanganku serta bau obat-obatan langsung menyergap indera penciumanku. Ini.. aku di rumah sakit? Namun mengapa???
Perlahan aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi padaku. Kemudian, ingatan itu pun muncul berkelebatan dalam pikiranku. Pertengkaran itu, kecelakaan yang mengerikan, alunan musik yang tiba-tiba menyadarkanku barusan.. Semua itu terasa bagai mimpi.
Dengan sangat hati-hati aku mencoba bangkit dari kasur. Mencoba mengumpulkan kesadaran ku lagi. Apakah ini nyata? Benarkah Genta sudah pergi meninggalkanku? Tidak. Pasti ini semua mimpi. Ya. Genta takkan mungkin meninggalkanku. Dia berjanji akan selalu bersamaku.
Kalut, aku langsung berlari keluar dari kamar perawatan. Aku sudah tidak peduli dengan selang infus yang dengan kasarnya tercabut dari tanganku. Tidak. Ini semua tidak mungkin terjadi padaku. Aku berlari, terus berlari. Tidak peduli dengan teriakan dokter serta perawat yang mencoba menghentikanku. Tidak peduli akan rasa sakit di kepala ku. Tidak peduli akan arah yang akan aku tuju. Tidak. Aku tidak mau peduli lagi.
Aku masih terus berlari dengan kalut hingga tiba-tiba saja sebuah alunan musik lembut berhasil menghentikanku. Dengan perasaan ragu aku mencoba mencari asal suara itu. Alunan lembut musik itu... darimana asalnya?
“Hai...” seorang pria menyapaku datar sambil terus memainkan biolanya.
“Kamu...yang menciptakan alunan musik ini?” tanyaku ragu.
“Ya.. aku,” jawabnya santai. “Ada apa?”
“Tidak. Hanya saja, musik ini mengingatkan ku pada seseorang yang sangat berarti bagiku dan baru saja pergi meninggalkanku.”
“Begitukah? Sepertinya kamu butuh seorang pendengar saat ini, bukan pemain biola. Keberatan untuk membagi kisahmu?”
Tanpa basa-basi aku langsung menceritakan semua kisah menyedihkan ku pada pria sang pemain biola di hadapanku ini. Aku sendiri bingung dengan semua ini. Mengapa aku dengan mudahnya bisa langsung mempercayai seorang pria asing sebagai pendengar curahan hati terdalam ku? Kisah menyedihkanku? Astaga.
“Anyway, kenalkan aku Rendy.”
“Sischa.”
“Senang berkenalan denganmu Sischa. Dan... senang juga bisa menjadi pendengar kisahmu,” balas Rendy sambil menyunggingkan senyum diwajahnya yang jika dilihat-lihat sepertinya mampu menarik perhatian wanita manapun. “Maaf, aku duluan ya.”
Aku hanya bisa tersenyum sambil memandang Rendy yang melangkah menjauh. Rendy? Mengapa aku bisa mempercayainya dengan begitu mudah??? Pria ini... sepertinya dia memiliki sesuatu yang berbeda di dalam dirinya.
♫♫♫♫
Esoknya aku hanya bisa melamun sendiri di dalam kamar perawatan. Aku benar-benar bingung dengan situasi ini. Kepergian Genta yang tiba-tiba, alunan musik itu yang biasanya hanya dan selalu bisa dimainkan oleh Genta seorang. Tanpa sadar airmata ku kembali mengalir. Kecelakaan itu.. mengapa Genta yang harus pergi? Mengapa..???
Memori akan Genta pun berputar cepat dalam ingatanku seperti sebuah film yang di fast forward. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menahan diri. Menahan diri untuk tidak jatuh terlalu dalam, menahan diri dari sebuah pisau kasat mata yang mungkin bisa saja melukai ku lebih jauh. Tidak. Aku tidak boleh seperti ini.
Disaat sedang berusaha menguatkan diri akan semua kenangan Genta, tiba-tiba saja alunan musik indah kemarin terdengar lagi. Alunan musik yang selalu dan hanya bisa diciptakan oleh Genta, kali ini berhasil ditangkap oleh indera pendengaranku kembali. Penasaran, aku pun melihat keluar jendela kamar ke arah taman belakang rumah sakit. Terlihatlah disana Rendy (lagi-lagi) sedang memainkan biolanya. Aku memandangnya lama. Ikut terhanyut kedalam melodi lembut yang keluar dari alat musik kayu itu. Rendy.. sepertinya sosok mu begitu misterius.
♫♫♫♫
Hari-hari terus bergulir dan semakin lama aku berada di rumah sakit, semakin sering juga aku melihat Rendy dengan biolanya memainkan melodi lembut favoritku. Aku... entahlah, merasa bertemu dengan malaikat kiriman Genta. Mungkinkah?
“Buatmu,” ucap Rendy sambil menyerahkan biolanya.
“Buatku? Maksudmu?” tanyaku kebingungan.
“Aku tidak membutuhkannya lagi. Kamu.. mungkin lebih bisa memanfaatkannya. Simpanlah..”
“Tapi...”
“Maaf, aku harus pergi...”
“Rendy..tunggu!” aku memanggil Rendy, namun hanya dibalas dengan lambaian tangan darinya. Ada apa sebenarnya dengan pria ini? Aneh sekali.
♫♫♫♫
“Maaf, Rendy baru saja dipindahkan dari rumah sakit ini. Dia membutuhkan perawatan yang lebih intensif,” ucap seorang perawat saat aku menanyakan kamar perawatan Rendy.
“Dipindahkan? Kemana?”
“Saya juga kurang tau, namun sepertinya Rendy dibawa ke luar negeri oleh keluarganya.”
“Memangnya dia sakit apa?”
“Leukimia kronis,” jawab perawat itu yang berhasil membuat semua syaraf dan tulang di tubuhku melemah. Rendy? Leukimia kronis? Astaga. Mengapa aku baru mengetahuinya sekarang setelah aku cukup sering bertemu dengannya belakangan ini? Egois. Aku memang sangat egois.
Dengan langkah lemas aku pun kembali ke kamar perawatanku. Di sudut ruangan, tergeletak sebuah benda peninggalan Rendy. Biola. Aku memandangnya cukup lama. Biola itu, melodi itu... siapakah yang mungkin bisa menciptakannya lagi selain Genta dan Rendy? Haruskah musikku berakhir disini. Mengapa mereka semua harus pergi disaat semua musik itu mulai dimainkan? Akankah aku bisa mendengarkan melodi-melodi indah itu lagi? Aku harap begitu.
- TAMAT -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!