Oleh gisha prathita (@geeshaa)
kamukayakuya.tumblr.com
Gadis itu, namanya Adinia.
Ia sudah kulirik semenjak pertama kali bertemu 2 tahun yang lalu, saat ia masih mengenakan seragam SMA dengan atribut balon dan jepit rambut yang berwarna gulali, lengkap dengan tas karung goni dan kaus kaki warna-warni. Ya, saat itu dia baru saja menapakkan kaki sebagai mahasiswa baru yang mengecap masa ospek bersama. Dan saat itu pula, aku sang panitia, menjatuhkan pandangan padanya. Saat itu, ia tetap gemerlap di mataku meskipun atribut aneh di seluruh pakaiannya mencoba menghalanginya.
Adinia Raraswati, sejak itu namanya selalu terngiang di kepalaku.
Setahun yang lalu, akhirnya aku mengenalnya. Luar biasa, aku merasa seperti remaja yang baru saja berkenalan dengan kecengan abadinya di halaman sekolah. Tanganku dingin saat berjarak lima langkah darinya, sampai langkah ketiga,aku terus memasukkan tanganku ke saku jaket, supaya suhunya lebih hangat—jadi tidak ketahuan kalau aku benar-benar gugup. Langkah keempat, aku menghela napas panjang menenangkan diri, dan langkah terakhir, dengan mantap aku berkata, “Lo Adinia kan? Gue Aga, asisten kelompok Hidrolika lo.” Dan semenjak saat itu, aku berkomunikasi dengan lancar denganmu. Asisten dosen memang jalur pelicin yang paling mujarab untuk berkenalan dengan adik kelas.
Adinia, syukurlah, saat itu kau tidak tahu betapa gemetarnya lututku.
Sampai seminggu yang lalu, aku menguatkan diri untuk mengumpulkan segenap tekadku, untuk melakukan sesuatu untukmu. Untuk menjadikanmu milikku. Dan saat itu kau masih tetap Adinia yang dulu, yang gemerlap di mataku, namun kali ini—tidak hanya dari luarnya saja.
Nyaris dua tahun aku mengenalmu, Adinia, semakin meyakinkanku, bahwa aku benar-benar mencintaimu.
Sampai saat itu tiba,
sehari yang baru saja terlewati, justru membuatku kecewa padamu, setengah mati. Hatiku rusak, pikiranku kacau. Saat itu aku menyatakan perasaanku padamu, begitu tulus. Kau tersenyum, kupikir kau merasakan hal yang sama denganku. Betapa indahnya dunia (saat itu). seindah bunga yang kuberikan padamu—yang tiba-tiba kau tampik dengan keras, sampai jatuh di kakiku. Kau bilang bahwa aku jahat, dan kau bilang aku tega.
Apa salahku, Adinia?
Kau menangis histeris dengan napas tersengal, dan kau lari meninggalkanku.
Apa salahku, Adinia? Apa?
Aku merasa tulang-tulangku sangat remuk—seperti baru dihempaskan dari langit ketujuh. Seperti terhempas dari pesawat dan jatuh ke permukaan air laut yang sekeras beton.
“Lo ditolak, ya, Ga?” tanya sahabatku saat aku terlihat kusut di depan Lab. Hidrolika dan Bangunan Air.
“Dia benci sama gue kayanya. Dia malah nangis histeris, terus lari ninggalin gue, seakan gue ini hantu.” Jawabku runyam. “Padahal gue udah bela-belain memberi dia sebuket bunga yang paling indah—setidaknya menurut gue.”
“Lo kasih dia bunga?” ia mengernyitkan keningnya. Aku mengangguk. “Kok lo bego sih? Ga, Adinia itu Anthophobia! Ya iyalah dia kabur!”
Mendengarnya, aku menganga.
Akhirnya aku tahu apa salahku, Adinia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!