Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 13 Januari 2011

Bukan Kembarannya


Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
Kamukayakuya.tumblr.com

Aku duduk di salah satu meja sudut Coffee Shop langgananku dengan gugup. Tanganku terasa dingin dan nyaris beku, aku tidak tahu apakah ini karena aku yang terlalu nervous atau memang AC di tempat ini dinginnya 16 derajat. Saking kedinginannya, aku menempelkan telapak tanganku ke cup capuccino yang kupesan tadi. Ah, kenapa sih aku selalu gusar di saat momen-momen seperti ini?
Kali ini aku menunggu seseorang, seseorang yang katanya bisa mengeluarkanku dari kegugupan ini, sebelum menghadapi kejadian aslinya di dunia nyata ini.
15 menit berlalu, dan muncullah sesosok perempuan dari balik pintu coffee shop. Ia mengenakan pakaian serba hitam, dengan sepatu boot yang berhak sekitar… 5 cm.
Ini adalah dia yang kutunggu-tunggu, tapi penampilannya benar-benar bukan dia.
“Jadi, ada apa kamu memanggilku ke sini?” ia duduk di hadapanku dengan anggun, kemudian menatapku sambil tersenyum. Hal ini membuatku semakin gemetar. Orang yang sudah kucintai sejak lama, kini tepat di hadapanku.
“Ada sesuatu yang inginku sampaikan padamu. Tentunya. Pada Amina Kalistya, lebih tepatnya.” aku berusaha tersenyum.
Gadis itu mengangguk-angguk, “Apakah itu?” ia dengan santai mengambil cup capuccino-ku dan meminumnya seteguk. Setelah ia meletakkan gelasnya, aku mengamati gadis itu sambil menghela napas panjang—mencoba untuk rileks. “Jangan tegang begitu donk. Aku kan bukan hantu.” Ia tertawa.
Aku terkekeh sedikit, ya, tentu saja. kau bukan hantu, Amina. Kamu adalah gadis yang kucintai, namun sayangnya kamu belum tahu tentang itu.
“Aku kan sudah mengenalmu sejak tiga tahun yang lalu, Na..” aku memulai kata-kataku. Amina meninggikan alis matanya, tanda menyimak kata-kataku barusan. “… dan tiga tahun itu menurutku—sudah cukup untuk membuatku yakin, kalau aku ini…”
“…aku ini Sailormoon?” potongnya. Ia lalu tertawa keras. Mau-tidak mau aku ikut tertawa keras.
“Bukan, Na. Bukan.” Aku menyeka air mataku yang tanpa sadar menitik di sudut mata saking gilanya kami tertawa tadi. Orang-orang sekitarku menatap dengan heran, seperti melihat seorang aneh yang berjoged di tengah jalan raya. “Aku Cuma mau bilang, kamu luar biasa, dan aku jatuh cinta padamu—sejujurnya—sejak pertama kali aku mengenalmu.”
Amina tertegun mendengarnya. Wajahnya pucat, “Selama itukah?” ia berbisik, agak terbata-bata. Aku mengangguk, gara-gara tertawa tadi, aku kini benar-benar tidak gugup lagi. “Kenapa baru bilang sekarang?”
Aku mendesah, lalu menatap matanya dengan dalam lagi. “Kamu tahu kan kalau aku.. selalu kehilangan kata-kata di saat seperti ini.”
Ia mengangguk-angguk. “Yah… it’s so you.
“Jadi… would you be my girlfriend?” tanyaku, pada akhirnya. Oh aku tidak percaya akhirnya keluar juga kata-kata ini. Amin akembali membisu dan menatapku tajam. Ia sedang berpikir, nampaknya.
No, I wouldn’t.” jawabnya mantap. Aku terkesiap mendengarnya. Setengah mati. “I don’t like you anyways,” ia tersenyum dengan gembira, seperti tidak ada beban, padahal ia baru saja mematahkan perasaanku.
Aku baru saja ditolak, dan dia terlihat sangat menikmatinya. Sadis.
 Aku terlalu kaget untuk berkata-kata lagi. Aku bahkan sudah mengetahui alasan kenapa dia menolakku dengan tegas. Aku, ternyata tidak dicintainya. “Fine… Yeah, really fine.” Aku berusaha tersenyum padanya. Ia masih menatapku dengan dibarengi senyumnya, namun tatapannya kosong.
“Bayu!” panggil seseorang dari belakangku tiba-tiba. Aku menoleh dari asal sumber suara itu, di belakangku. Tepat dari pintu masuk lain coffee shop itu. Seorang perempuan, berbaju warna merah dengansweater khaki kebesarannya, berjalan dengan cepat ke arahku. Satu lagi, ia mengenakan sepatu keds—it’s so her.
Jantungku nyaris berhenti berdegup melihatnya.
“Maaf lama menunggu ya! Tadi aku sudah di jalan, tapi tiba-tiba sadar kalau HP-ku tertinggal, jadi aku balik rumah dulu baru ke sini lagi.” Ia berkali-kali membungkukkan badannya, meminta maaf padaku. Aku menelan napasku dengan keras. Ia kemudian menatapku dengan heran.
Sebenarnya, kalau boleh aku berpendapat, harusnya aku lebih heran lagi. aku kemudian menoleh ke arah gadis yang duduk di hadapanku sejak tadi. Kini ia tersenyum devil-ish, iseng, dan merasa menang. “Kau—…” tenggorokanku tercekat. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja dari hadapanku dengan langkahnya yang cepat.
“Bay? Kamu kenapa? Kamu ngomong sama siapa, Bay?” Gadis yang mengenakan sweater khaki itu celingak-celinguk mencari objek yang kulihat dengan pandangan bingung, kemudian duduk di hadapanku.
Dan gadis ber-sweater ini adalah Amina Kalistya.
“Satu pertanyaan donk, Na.” Amina menatapku dengan gestur: Apa? “Kamu kembar?”
Ia mengernyitkan keningnya lalu menjawab, “Nggak.”
Jadi yang tadi siapa?
Aku kaget… tapi kemudian aku tersenyum sesaat setelahnya.
Hal ini berarti…
… aku belum ditolak ‘kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!