Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 13 Januari 2011

Andai Aku Tidak Dilahirkan


Oleh: M. B. Winata (@bangkitholmes)
“Awas!!!  Ada  Si Bohlam masuk, kelas bakal terang, silau!!”
Kata-kata itu sudah biasa kudengar hampir setiap aku masuk kelas. Keningku yang lebar -botak -depan –mengilat- ini  benar-benar jadi sasaran olok-olok yang sangat empuk teman-teman sekelas. Sakit kawan, sakit benar rasanya hati ini kena bulan-bulanan ejekan macam itu. Tapi bisa apa aku, selain buruk rupa, aku juga invisible dan diremehkan. Cukup pura-pura senyum saja menghadapi olokan silau-silauan itu meski dada ini rasanya sesak bukan main dipermalukan seperti itu.
Aku sering mengutuki hidup yang tidak adil ini. Rupaku yang buruk rupa, keberadaanku yang tidak dianggap, kehidupan yang jauh dari kemapanan. Aku pernah membuat statement sepihak ,” Andai aku tidak dilahirkan.” Sebuah ungkapan betapa tidak ada hidup orang lain lain yang lebih sial dari hidupku. Bukti kemarahanku  pada siapa aku tidak tahu, mungkin pada Tuhan.
Statement itu terpatahkan begitu saja dua hari yang lalu. Di perjalanan pulang, di persimpangan rel kereta api aku bertemu sesosok pria yang setidaknya nasib fisiknya sama denganku. Aku kaget, seperti melihat diriku sendiri, lengkap dengan kesialannya. Aku melihat mata yang sama, rambut ikal yang sama (cuma agak lebih panjang), bibir tebal yang sama, bahkan kening menyilaukan yang sama. Sama denganku, ia juga terheran heran melihatku dari atas ke bawah. Kami berhenti dan saling menyapa.
“Mari duduk sebentar di sini, kau tidak sedang buru-buru kan?” tawarnya kepadaku.
“Tak masalah.”
Kami berkenalan dan berbincang-bincang selama kurang lebih sepuluh menit di pinggir pintu rel. Sulit dipercaya, kehidupannya ternyata jauh lebih beruntung dariku.
“Hidupku sebenarnya tidak begitu baik, bahkan sama sepertimu, tapi ada baiknya kita hadapi saja hidup ini apapun keadaaanya, tidak baik menyalahkan Tuhan. Banyak-banyaklah bersyukur. Jangan sekali-kali merasa menyesal dilahirkan.” Begitu bunyi pesan terakhirnya untukku.
Sehabis sepuluh menit itu aku mohon diri, sedikit pesan kusampaikan padanya, “Kau sangat beruntung.” Setelah itu aku pulang.
***
“Doppelgänger (harfiah: muka ganda) adalah penampakan dari wajah seseorang yang masih hidup, biasanya merupakan suatu pantulan.”
“Doppelgaenger bukanlah suatu bayangan. Mereka biasanya terlihat oleh orang itu sendiri, karena Doppelgaenger merupakan sebuah pantulan. Doppelgaenger orang tersebut akan memberi nasihat seputar masa depan orang yang melihatnya. Biasanya, orang yang melihat Doppelgaenger akan mati beberapa tahun setelah ia didatangi oleh Doppelgaenger.”
Tulisan di Wikipedia ini mengguncangku. Betapa tidak, baru tadi siang fenomena ini kurasakan. Aku baru saja melihat Doppelgaenger-ku.
Sebenarnya aku bukan tipe orang yang begitu percaya dengan hal-hal tidak ilmiah seperti ini, tapi tanpa dikehendaki  rasa takut itu menyelimutiku. Setiap langkah kakiku berikutnya seperti langkah menuju kematian. Setiap kedipan mataku serasa tidak akan terbuka lagi. Setiap tidurku seperti tidak akan terbangun lagi. Alhasil kulewati malam-malam dengan sedikit tidur dan sedikit berkedip. Anehnya dalam keadaan ini aku mulai sering memohon-mohon kepada Tuhan yang semula aku hujat. Betapa hidupku yang sial ini ternyata begitu berharga.
***
“Ramai-ramai apa ini Pak?” tanyaku ke sembarang orang.
“Ada yang ketabrak kereta!” jawabnya tanpa memandangku.
Rasa penasaran mendorongku berlari menembus kerumunan orang-orang yang mengelilingi objek-objek yang berbeda-beda. Ada dua kerumunan di dekat rel ini, kucoba tembus kerumunan pertama. Rasanya ingin muntah, kulihat potongan tubuh berserakan tak berharga. Rasa penasaranku masih belum hilang, kucoba lagi menyusup ke kerumunan yang kedua. Dan ternyata bagian tubuh yang kulihat di sini begitu mengagetkanku. Aku melihat setengah badan ke atas hingga kepala. Ternyata orang ini kukenal. Matanya, bibirnya, keningnya, orang ini Doppelgaenger-ku.
Ah bukan-bukan, kalau situasinya begini berarti, sebenarnya aku, tidak mungkin. Aku mulai bertanya-tanya, menarik sisi logis dari kejadian ini tapi tidak juga kutemukan. Ahh, kepalaku mulai sakit. Dalam kondisi ini aku bertanya kepada Tuhan. Apa hidupku ini nyata? Atau hanya “sisi lain yang selalu mengeluh” dari dia yang kini terbujur kaku?
Kurasakan tubuhku samar-samar menguap hilang. Semua gelap.
(Solo, 12 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!