Oleh Rikardo Pardede (@rikardopardede)
Keringat dingin bercucuran di dahi Andrew. Diteguknya lagi jus jeruk di gelas di hadapannya. Sudah sejam dia hanya terduduk diam, bercucuran keringan, dan sesekali melirik melihat orang di depannya.
Gynophobia, ya ketakutan terhadap wanita lah yang dimiliki oleh Andrew. Berada di sekitar wanita membuatnya gugup, gemetaran, dan berketingat dingin. Hari-harinya dipenuhi usaha untuk menghindar dari keberadaan wanita. Seluruh makanan dipesan dating ke rumahnya dan dia selalu memesankan saat menelepon bahwa pengantarnya haruslah seorang laki-laki. Dia juga bekerja melalui komputer di rumahnya untuk menghindari kontak secara langsung dengan wanita. Sampai suatu malam,
“Andrew, apa kabar?” seru suara di telepon.
“Baik, Ma. Kenapa telfon malam-malam?”
“Besok temui mama ya di tempat makan biasa jam 12 siang. Oke? Jangan lupa!”
Telepon tiba-tiba terputus. Andrew tidak punya pilihan lain selain datang menemui mamanya besok dan meninggalkan pekerjaannya. Dia takut sesuatu terjadi dengan mamanya.
Saat dia datang ternyata mamanya tidak sendirian melainkan bersama seorang wanita cantik. Dia pun gugup dan tidak bisa bicara. Awalnya mamanya yang berusaha mengajak bicara sampai suatu saat mamanya permisi ke toilet dan tidak kembali.
Disitulah Andrew sekarang bersama wanita itu. Angel, nama perempuan itu, sibuk sendiri dengan telepon genggamnya seakan-akan menunggu diajak bicara. Andrew tinggal sanggup, sudah sejam mereka berdua di sana dan mereka berdua hanya terdiam disana. Dia hampir menangis putus asa akan ketidaksanggupannya berbicara dengan gadis itu. Tiba-tiba dia melamun dan mengingat mamanya, bagaimana dia dibesarkan sewaktu kecil, dan kesabaran mamanya terhadapnya. Akhirnya timbul semangat di dalam diri Andrew untuk memulai pembicaraan. Dia sudah merangkai kata-kata dalam pikirannya. Yang harus dia lakukan saat ini adalah mengucapkan kata-kata tersebut.
Dia mengangkat kepalanya. Rasa takut dan cemas kembali menyerang. Kali ini air matanya tumpah tapi tidak dalam keadaan tertunduk sehingga wanita itu dapat melihat dirinya menangis. Wanita itu sadar bahwa Andrew sangat malu saat itu, pipinya memerah. Oleh karena itu, dia tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa. Jangan menyesal, saya senang bersama denganmu saat ini. Lebih baik kita berpisah dulu agar kamu tenang. Oke?”
Andrew merasa bersalah, namun dia merasa bahwa itu memang adalah keputusan terbaik. Akhirnya mereka bangkit berdiri dan meninggalkan restoran itu. Sambil berjalan tetunduk, Andrew sempatkan menoleh ke arah gadis itu.
“Maaf,” bisiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!