Oleh: Bintang Senja (@staronshine)
“Kau lagi.”
Ia menahan geram. Kepalanya serasa ingin meledak. Wajahnya merah seolah darah sedang dipompa terbalik dan mengalir menuju ke kepalanya. Otot-otot pengikat matanya berkontraksi, membuat sepasang mata berwarna kecokelatan itu membelalak. Adrenalinnya terpacu, tetapi bukan membawa perasaan bersemangat yang menantang. Jantungnya berpacu lebih kencang, pundaknya naik-turun karena nafasnya yang memburu. Ia mundur beberapa langkah, mengamati lawannya yang menatapnya balik dengan sorot tak terbaca. Matanya begitu hitam. Begitu menyimpan misteri.
Maureen merasa bulir keringatnya mulai menuruni pelipis. Ia mulai dilanda ketakutan. Padahal ia sudah berusaha agar tidak menampakkan ketakutannya sama sekali ketika kembali berhadapan dengan pemilik sepasang mata hitam pekat itu. Ia sudah belajar bagaimana mengatasinya, bagaimana cara mengendalikan emosinya. Rasanya... itu sama sekali tak berarti sekarang. Lawannya, ia kenal, begitu tangguh. Mereka adalah sepasang makhluk mortal yang diciptakan untuk saling melawan, setidaknya itu yang ia pikirkan. Jika Maureen tidak bergeming, maka lawannya akan menang dan vice versa. Aku harus menang, tekadnya dalam hati.
Ini bukan pertemuan mereka untuk yang pertama kalinya. Sudahkah kalian jelas mengenai hal itu?
Maureen tahu kelemahannya. Di balik sepasang mata kelam, di balik kemampuan melawan gravitasi, di balik segala usahanya untuk mengalahkan Maureen. Maureen sudah mengerti strategi lawannya. Biasanya dia akan muncul tiba-tiba dan mengamati situasi untuk beberapa saat sebelum mulai mengembangkan sayapnya untuk menyerang. Ketika fase ini berlangsung, rasa takut mulai merayapi Maureen. Sampai akhirnya kini mereka kembali berhadapan berdua. Tanpa ada satupun interupsi ketika prosesi sakral tatap-menatap saling mengintimidasi itu sedang berlangsung.
Hitungan mundur, detiknya mulai.
Tiga, dua, satu.
Lawannya bergerak maju tanpa takut. Sama sekali tidak terintimidasi padahal Maureen sudah bermandikan keringat. Ujung bibirnya berkedut ketika tangannya bersiap dengan sebuah senjata untuk melawan musuh bebuyutannya itu.
Mereka, dua makhluk mortal, berperang.
SROOOT! SROOOT!! SROOOT SROOOT SROOOT!!!
“Lo ngapain, sih?” Rena mengamati Maureen, adiknya yang masih duduk di bangku SMA tersebut. Tangannya memegangi botol aerosol yang didominasi warna hijau tersebut. Jargon yang tertulis di botol itu bisa terbaca jelas oleh Rena: “Membunuh lebih efektif!”.
“Matiin kecoak. Anjir, puas banget gue. HAHAHAH.”
“Ciee, yang matiin kecoak. Eh, ada lagi tuh. Gila, terbang!”
“ANJIR, ANJIR! EMAKNYA DATENG! REEEN, TOLONGIN!”
Maureen berurai air mata ketika berlari panik masuk ke kamarnya. Seolah lupa ia sedang membawa insektisida aerosol yang bisa disemprotkan kepada lawannya yang memiliki sepasang mata sekelam malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!