Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 07 Januari 2011

Fear Session

Oleh Stephie Anindita (@StephieAnindita)


Jam sepuluh malam tepat. Ia menyalakan televisi. Theme song lagu konyol terdengar sebelum si pembawa acara yang berdandan ala dukun dengan gaya bicara yang mirip orang keterbelakangan mental itu menyapanya. “Selamat malam pemirsa, jumpa lagi dalam acara ‘Aduh Atut’ malam ini tim kami akan menyapa penduduk di daerah Jakarta Selatan ... seperti biasa kita akan melihat bagaimana reaksi mereka jika berhadapan dengan hantu ... langsung saja kita lihat liputannya di ‘Aduuhh Atuuuutt!’“
Ia ikut tertawa kecil bersama si dukun. Matanya memelototi layar televisi seolah tanpa berkedip, nafasnya memburu penuh semangat ketika ia melihat seseorang yang berdandan seperti monster bersembunyi di balik tiang listrik dan bersiap-siap mengejutkan si korban.
Korban pertama, seorang pemuda berkaus hitam yang tampak sangat sangar. Pemuda menjerit melengking ketika si ‘monster’ melompat ke hadapannya, pemuda yang tadinya tampak begitu berani itu berlari sampai nyaris terjatuh beberapa kali.
Ia menyumpal mulutnya dengan bantal, menahan tawanya setengah mati. Hahahaha! Konyol! Lagaknya aja kayak preman, ketemu monster dikit jejeritan! Malu-maluin! Hahahahaha!
Korban kedua, seorang ibu-ibu. Ibu-ibu itu menjerit keras, lalu pingsan di tempat. Para kru berlarian panik mendekati ibu-ibu itu dan mencoba menyadarkannya.
Ia kembali tertawa puas di balik sumpalan bantal. Rasa puasnya bertambah dua kali lipat melihat sosok yang sepertinya begitu kuat, superior seperti sosok mami di rumahnya, menangis sesenggukkan ketika akhirnya sadar dari pingsannya.
Begitu terus sepanjang acara. Ia terus menertawai setiap orang yang berhasil dikerjai di acara itu. Melihat mereka menjerit ketakutan, lari, pingsan atau menangis sementara suara tawa efek tawa diperdengarkan untuk memancing tawa pemirsa. Sebetulnya tanpa pancingan suara tawa itupun ia sudah bisa tertawa, ia merasakan rasa puas yang teramat sangat. Satu jam berlalu begitu singkat. Acara itupun habis. Ia memindahkan channel televisi. Ke acara ‘Dag Dig Dug’.
Kali ini si pembawa acara tidak bersikap selebay pembawa acara tadi, pria berdandanan jas lengkap ala vampir itu justru memasang wajah seperti orang konstipasi dan suaranya juga mengedan-ngedan entah apa maksudnya. “Selamat malam pemirsa, jumpa lagi dalam acara ‘Dag Dig dug’ ... pasti anda sudah penasaran siapa yang akan menerima kejutan malam ini. Mari kita lihat cuplikannya ...”
Layar TV menampilkan cuplikan acara hari itu. Seorang anak perempuan yang dikerjai oleh teman-temannya. Teman-temannya tahu ia takut badut, dengan alasan hendak membantu temannya itu, mereka sengaja mengundang badut ke sekolah mereka untuk mengejar-ngejar anak itu. Anak perempuan itu berteriak ketakutan, nyaris nekad melompat dari jendela kelasnya, lalu melemparkan alat-alat tulis, buku-buku dan benda lainnya ke arah si badut sambil menyumpah-nyumpah penuh amarah. Setelah itu, tampak teman-temannya menangis entah kenapa ... mungkin anak itu akhirnya pingsan? Gambar di layar televisi keburu berganti ke tayangan iklan. Sengaja begitu biar penonton penasaran.
“Malam ini bakalan seru!” desisnya penuh rasa puas.
Menonton reality show semacam itu adalah agenda wajib untuknya setiap malam. Ia merasa puas menyaksikan orang-orang yang tidak berdaya dalam ketakutan mereka, disaksikan jutaan mata yang semuanya menertawai kekonyolan-kekonyolan yang mereka buat. Ia merasa menang. Ia merasa jauh di atas orang-orang itu karena ia tidak takut dengan gelap malam, orang-orang berpakaian konyol atau bahkan hal-hal remeh seperti badut.
Ia hanya takut satu hal: yaitu cacing.
Musim hujan begini, halaman sekolah dipenuhi oleh hewan itu dan teman-temannya selalu bergerombol di sana untuk berburu cacing. Salah seorang dari mereka iseng melemparkan seekor ke arahnya dan ia menjerit ketakutan sampai nyaris menangis.
Selanjutnya, sudah bisa ditebak. Sekolah menjadi neraka dunia untuknya. Cacing itu ada di mana-mana. Di dalam tasnya, di dalam kotak pensilnya, di kamar mandi, jatuh di atas kepalanya ... tentu saja semua itu ulah teman-temannya.
“Bego banget sih loe, badan doang yang gede tapi nyali loe ayam! Sama cacing aja takut!”
Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada teman-temannya. Ia sangat takut pada cacing... apalagi membayangkan hewan itu mengeliat-ngeliat di atas kulitnya ... ia bisa mati ketakutan rasanya! Ia berusaha meminta pertolongan pada guru, tapi setelah guru menegur teman-temannya, mereka justru mengerjainya lebih lagi.
“Dasar tukang ngadu!”
“Nyolot! Penjilat! Awas kalau loe berani ngadu lagi!”
Ia mencoba  lari dari masalah. Menghindari sekolah. Awalnya keluarganya sekolah masih mengijinkannya membolos, tapi lama-lama mereka ikut-ikutan merasa kesal padanya. Membentaknya supaya tidak berkelakuan seperti anak kecil dan mengancam memindahkannya ke sekolah asrama. Membayangkan ‘disidang’ seperti seorang kakak sepupunya yang ternyata seorang gay dan berakhir di sebuah sekolah asrama khusus pria yang sangat keras membuatnya bergidik. Ia tidak yakin asrama putri akan lebih baik ... setidaknya di sini, ia masih bisa merasa aman di rumah.
Cengirannya semakin lebar ketika iklan akhirnya selesai dan acara itupun di mulai. Tampak teman-teman si korban sedang mengajak si korban masuk ke kelas, sementara si badut bersiap-siap melompat dari balik lemari.
Here we go again ... hahahahahaha!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!