Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 13 Januari 2011

Estafet

Oleh: @faridasusanty

Pertamakali aku melihatnya adalah ketika aku bangun pagi ini.
Yang pertama aku rasakan adalah tangannya. Tangannya yang halus, panjang, dan hangat mengenggam tanganku. Jari-jarinya yang masuk ke celah antar jari-jariku. Kemudian aku melihat matanya yang hitam kecokelatan. Bibirnya yang penuh dan menyunggingkan senyum. Dia menyelonjorkan tubuhnya di sisi ranjangku dengan mengenakan piyama putih. Tangannya terus mengelus-elusku. Dia manis dan hangat.
Akan sangat menyenangkan ketika kamu bangun dengan genggaman tangan orang lain. Apalagi Ibu. Dulu aku senang sekali dielus Ibu setiap bangun pagi.
Tapi masalahnya, dia bukan Ibu.
Dia adalah... aku.

Pagi itu aku tidak bisa bergerak sama sekali selama beberapa jam. Yang bisa kulakukan hanya berbaring, menggerak-gerakkan mataku ke arahnya, memeriksa apa dia masih ada di sebelahku. Dia tidak pernah pergi. Dia tetap duduk di sana. Matanya yang cokelat, persis seperti mataku, terus melekat ke arahku. Napasnya naik turun di sebelahku.
Ke... na... pa.
Dalam kekakuanku, aku terus memandanginya. Melihat bagaimana dirimu terlihat di foto atau di film adalah sesuatu yang menyenangkan. Menyanjung. Senang melihat perspektif orang lain dalam melihat dirimu. Tapi melihat dirimu yang lain di dunia nyata adalah gila. Aku ingin memegang kepalaku dan menghantamkannya ke dinding, karena aku yakin aku sudah gila.
Aku ingin berteriak, kenapa? Kenapa aku? Kenapa sekarang? Siapa kamu? Aku tidak mengalami apa-apa kemarin. Aku tidak bermimpi apa-apa. Yang aku ingin lakukan hari ini hanya menghadapi ulangan Matematikaku dan pulang, istirahat. Kenapa aku harus melihatnya?
Aku tidak tahu kenapa aku segemetar ini. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk tanpa memindahkan pandangannya dariku. Itu saja. Aku bahkan tidak tahu dia itu siapa. Dia itu apa.
Tapi ada sesuatu yang berbisik di telingaku.
Bahwa dia mungkin ingin menjadi aku.
Dia mungkin akan mengambil tempatku di dunia ini.
Kemudian kulihat dirinya mencondongkan kepalanya ke arahku.
"Sebentar lagi," bisiknya.

Anehnya, setelah itu, aku bisa menggerakkan tubuhku. Dan dia, walau dia tetap ada di sana, dia tidak menatapku lagi. Dia bangkit dari tempat tidurku dan duduk di meja belajarku. Menunduk dan memainkan tangan dan kakinya. Seperti menunggu. Persis dengan gayaku ketika menunggu. Menunduk dan memainkan tangan dan kaki.
Dia adalah... aku.
"Kamu mau apa..." bisikku. Dan kurasakan lututku lemas. Dia tidak menghilang. Dia tetap ada di sini.
Dia tidak mengangkat wajahnya. "Lakukan saja apa yang perlu kamu lakukan hari ini," bisiknya.
"Tapi kamu..." Aku melangkahkan kakiku ke arahnya. Kucari benda keras yang bisa kuhantamkan padanya. Tapi sebelum aku menemukan benda itu, dia melanjutkan,
"Hey Sinna. Apa kamu orang jahat?" katanya lagi, masih dengan nadanya yang tenang. Dia memiliki ciri-ciri tubuhku, dia bergerak seperti aku, tapi aku tidak ingat pernah setenang dia.
"Nggak," ujarku sambil tetap menjaga jarak darinya.
"Aku adalah kamu. Kalau kamu merasa kamu bukan orang jahat, aku juga tidak mungkin akan jahat," katanya, tertawa keras seakan itu sesuatu yang begitu jelas dan bodoh. "Ya kan?" Ia mengangkat kepalanya dan menghadapku.
Sulit untuk tidak berteriak melihat dirimu sendiri tertawa ke arah dirimu. Aku berlari, membuka pintuku, dan berlari ke ruangan bawah. Jantungku berdebar-debar tidak karuan. Di tangga terakhir, satu kakiku berjalan terlalu cepat dari kaki lainnya dan aku terjatuh.
"Sinna! Kamu nggak apa-apa, Nak?" Kulihat ibuku berlari ke arahku. Segera mengecek tubuhku. Kakiku. Tanganku. "Kenapa harus lari-lari seperti itu?"
Aku menggeleng-geleng. Apa aku akan mati?

"Kamu kenapa diam terus begitu, Sayang?"
Di antara dentingan sendok di meja makan hari itu, aku hampir tidak bisa menikmati nasi goreng yang berkumpul di mulutku. Aku yakin dia masih ada di atas sana, duduk, menunduk. Aku tidak tahu apa yang akan Ibu lakukan ketika melihatnya.
"Bu, umurku masih panjang kan ya?" kataku, memerhatikan bayanganku di sendok. Tidak pernah seumur hidupku aku memikirkan mati. Biasanya rasanya setiap pagi adalah sama. Dan aku begitu yakin aku akan hidup hingga keesokan harinya.
"Iya, kamu masih muda sekali," kata Ibu, menyibakkan poniku ringan.
"Jadi Ibu akan tahu kalau aku nggak ada?"
"Sayang, jangan bilang gitu ya," katanya lagi. "Ayo pergi, nanti kamu telat lho."
Aku mengangguk. Meneguk air minumku. Kuambil tas. Menyalami Ibu. Lalu aku keluar menuju pintu.
Saat itulah aku mendengar derap langkah itu di belakangku.
Kupalingkan kepala.
Dia tidak lagi memakai piyama. Dia sekarang memakai baju putih abu-abuku. Dengan jepit rambut sepertiku. Dengan sepatu yang sama. Lipatan rok yang sama. Bahkan harum tubuh yang sama.
Dia tersenyum. "Ayo."

Kupercepat langkahku keluar rumah. Aku hanya ingin pergi menjauhinya. Aku hanya ingin lupa bahwa dia ada. Tapi terus kudengar suara langkahnya mengikuti setiap suara langkahku. Kupalingkan wajahku. Dia di sana. Tersenyum menatapku dengan rambutnya yang berkibar-kibar. Seperti rambutku.
“Apa kamu ingin lepas dariku?” kata diriku yang satu lagi itu.
Aku melebarkan mata.
Dan semuanya terjadi dalam hitungan detik. Satu detik yang seperti selamanya. Kurasakan tubuhku meringan. Terlalu ringan. Hingga aku tidak bisa merasakan tanganku lagi. Suara desingan bus yang melewatiku, yang bahkan tidak mengeluarkan suara klakson ketika melihatku. Kakiku lepas pijakan.
Dia melambaikan tangannya.
Hari ini kamu mati.
Sinna akan tetap hidup. Sebagai aku.
Dan seterusnya, sampai diriku habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!