Oleh : Khoirunnisa Aulia Noor Haryopranoto
Hotcoldchocolate.blogspot.com
@auliaully on twitter
Aku benci tempat baru, tapi keadaan berbalik arah padaku. Seakan sengaja membuatku muak dengan kehidupan. Ini taun kesebelas aku bersekolah, dan ini sekolah ke-8 yang kusinggahi. Tuntutan kerja Ayah mewajibkan aku turut ikut berpinda-pindah tempat hampir setiap taunnya. Ayah tau, aku benci itu. pernah suatu saat aku meminta pada ayah untuk menetap dan tidak turut Ayah berpindah-pindah seperti biasanya, Ayah menolak mentah-mentah. Ia anggap aku belum cukup besar untuk bisa menjaga diri. kenyataannya, sekalipun ikut kerja ayah (berpindah-pindah tempat) Ayah tidak pernah mengawasiku. Ia (seperti orang kerja biasanya) pergi saat aku belum membuka mata dan pulang saat aku telah bersanding dengan mimpi-mimpiku. Kau bertanya tentang Ibu? Ya mungkin kalian heran kenapa daritadi aku tidak membahasnya. Itu karena Ibu sudah meninggal, sejak 5 tahun yang lalu saat aku duduk dibangku kelas 6 SD. Ibuku seorang dokter yang sangat peduli akan pasiennya, dan sayangnya ia harus mendahului pasiennya saat menuju rumah sakir dimalam hari itu. Tabrakan antara sedan dan truk gandeng tersebut memadati koran lembar pertama di keesokan harinya.
Sebenarnya ini bukan asli tempat ke-13 ku. Kami (aku dan Ayah) kembali ke tempat asal kami, 11 tahun yang lalu, tempat aku dilahirkan, tempat aku bersekolah selama 4 tahun, tempat aku bermain gundu berlari tanpa alas kaki. Perumahan ini hampir tidak ada yang berubah, hanya keadaan saja yang berubah. Letaknya masih sama. seperti 6 tahun yang lalu. Rumahku juga belum berubah, masih sama seperti yang lalu. Hanya saja penghuninya berkurang satu, Ibu. Semua masih tetap ditempatnya, ternyata pak Jon dan bik Sum apik merawat ini semua. Rasanya ingin segera berlari keluar mencari teman-teman ku dulu. Tapi niat itu ku urungkan, aku mengeluarkan mobil dan menuju pemakaman umum. Kerumah terakhir Ibu.
Aku masuk salah satu sekolah menegah atas terbaik di Jogjakarta. Senin besok aku mulai sekolah. Masih ada 3 hari sebelum aku harus kembali kerutinitas yang aku benci. Mengenal tempat baru.
Sore ini aku berjalan mengelilingi komplek. Menuju satu tempat dimana aku biasa berkumpuldengan teman-teman ku dulu. Taman ini masih sama, rumah pohon itu, ayunan tua, bongkahan tangki dan ban yang tersusun emm disusun oleh teman-teman untuk duduk bersama. Dan itu dia mereka disana, duduk tidak manis dengan gelagak tawa yang aku kangenin. Aku masih berdiam diri dipinggir taman sampil tersenyum simpul sampai salah satu dari mereka ngeh ada aku yang memperhatikan.
“eh bentar deh, itu siapa sih?” kata salah satu dari mereka yang dari caranya bicara aku tau dia Aninditya biasa dipanggil didit.
“kayanya gue kenal” balas salah satunya , dari cara ia memakai bandana, aku tau dia Firly
“ituuuu Auro!” teriak Rendy seraya menghampiriku dan memelukku.
“masih inget gue ndy?” tanyaku seakan tidak percaya
“ga berubaaaah”teriak Firly seraya menghampiri kami bersama didit. Dan sore itu habis dengan candaan kami di taman komplek.
Dari bertemunya kami disana, aku tau, Didit satu sekolah denganku. Bahkan satu kelas.
Ini akan jadi hari pertamaku sekolah. Dan seperti hari-hari pertama lainnya, ini pasti membosankan. Benar saja, baru aku masuk kelas, salah satu anak kelas sudah meneriakki aku dengan sebutan yang tidak-tidak. Belum lagi kejailan mereka. Untung ada didit yang setidaknya membantu aku beradaptasi. Pernah suatu hari, aku ingin membaca buku di perpustakaan sekolah. Ini jadi kali pertama aku masuk perpustakaan. Tidak banyak buku yang ku ambil, naas, aku tersandung kaki meja saat menuju tempat duduk. Dan didit membantuku. Itu jadi kali pertama aku menatap matanya. Masih sama, tatapan itu masih sama seperti awal pertama aku bertemu dengannya. Ah, itu hanya cinta monyet yang terpendam.
Aku ingat, aku masih menyimpan semua kenangan pertamaku dengan Didit. Dalam sebuah diary dan kotak yang kukubur di bawah rumah pohon di taman. Saat itu didit jugamengubur sebuah kotak. Aku tidak pernah tau apa isinya. Yang aku tau itu kenangan didit dengan seseorang, mungkin Firly.
Siang itu sepulang sekolah, aku memilih merebahkan diri di atas rumah pohon ditaman. Sambil mendengarkan earphone. Volume earphone ku tidak begitu besar sehingga masih mampu mendengar gesekan daun dan... suara orang berbicara. Aku penasaran, siapa dibawah sana? Aku merangkak mengintip. Didit, ada didit dibawah sana, sedang membuka kotaknya. Dan.. berbicara sendiri.
“kalau saja dulu aku punya keberanian, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Cinta monyet itu cinta pertamaku. Hingga kini. Andai firly...” kata-katanya tidak disambung lagi akupun tidak berniat untuk mendengarkan. Cukup mendengar nama firly disebut, aku tau firly yang dia suka, namun firly berpacaran dengan Rendy sekarang. “Ro, aku tau kamu juga punya perasaan yang sama” samar-samar auro mendengar kata itu. Auro lekas menguping lagi. “kalau saja firly bilang daridulu, kalau saja firly membongkar kotak Auro lebih awal” firly membuka kotakku? Jadi mereka tidak jujur padaku kemarin? Jadi setidaknya didit sudah tau apa yang aku rasakan dulu? Emosiku memuncak, aku menampakkan diriku.
“jadi 6 taun gue ga disini, kalian seenaknya bongkar kotak gue?” kataku sedikit tinggi hingga menyentak didit. Didit seakan ingin membela diri, namun tak kuberi ia kesempatan
“gue fikir kalian bisa jaga amanat buat ga buka kotak gue, kenyataannya? gue anggep kalian sahabat, tapi kelakuan kalian kaya gak anggep gue sahabat!”
“ga gitu ro” aku berlari menghindar. Mengurung diri dalam kamar. Mereka, yang selalu aku percayai walau aku tidak bersama mereka, tapi apa yang mereka lakukan? Mengecewakanku.
Dan itulah, awal kenapa aku tidak pernah percaya sahabat lagi. Tidak ini bukan yang pertama, karena sejak mengikuti ayah (berpindah-pindah tempat) aku sudah tidak percaya akan sahabat, kecuali mereka. Dan kini? Mereka hancurkan kepercayaanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!