Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 13 Januari 2011

Matahari

Oleh: Bintang Senja (staronshine)

Buku ini tidak bagus. Penuh dengan gambar bunga, peri, matahari, pelangi, dan anak-anak yang berlarian. Dimana inti ceritanya? Aku tidak pernah bisa mengerti buku bergambar. Tidak bermutu. Aku lebih suka buku yang mempunyai paragraf gemuk dan bermutu. Aku bosan dengan buku-buku yang berada di ruangan ini. Aku jenuh setiap hari harus menunggu jam-jam tertentu untuk bisa keluar dan berinteraksi dengan orang lain.

Oh ya, namaku... err, sebut saja Matahari.

Yap, aku mengikuti cara televisi menampilkan nama-nama korban mereka yang disamarkan. Tentu saja karena posisiku disini adalah sebagai korban. K-o-r-b-a-n, biar kueja satu-persatu. Orang-orang bodoh di luar sana mempunyai intelegensi rendah. Mereka tidak bisa mengerti apa yang kuinginkan walau aku sudah mengatakannya dengan jelas. Mereka membawakanku permen pahit ketika aku mengatakan aku ingin lolipop manis. Mereka memakaikanku pakaian serba hijau pucat padahal aku ingin memakai sebuah gaun indah berwarna lembayung. Mereka mengataiku gila ketika aku mengucapkan yang sebenarnya.

Aku memilih diam dan memendam ketakutan dibanding harus menjerit atau mengadu tentang apa yang kulihat. Karena para idiot itu akan datang membawa sepasukan makhluk berbaju putih, menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhku agar aku tertidur. Aku memilih tak pernah tertidur. Kenapa? Karena dia ada. Dia ada disana, mengawasiku di pojok ruangan. Menatapku dengan wajah pucat, matanya kosong, sudut bibir sebelah kanannya terangkat beberapa senti lebih tinggi dari rupa yang aku kenal. Wajahnya serupa wajahku dan aku tak pernah menyeringai seperti itu.

Kedua tangannya terjulur, hendak meraih tanganku. Berikutnya, aku tahu dia akan mencekikku.

“TOLOOONG!” Aku ketakutan. Sebenci apapun aku dengan para manusia idiot berpakaian putih-putih itu, aku tetap membutuhkan pertolongan mereka. ‘Matahari’ mendekatiku. Seringainya bertambah lebar. “SUSTER, TOLOOONG! DIA AKAN MEMBUNUHKU! AAAKH, A-AKU HH—AKAN DIBAWA BERSAMANYA, SUSTER! DOKTEEER!” Aku merapat ke pintu yang terkunci, menggedornya hingga buku-buku tanganku sakit. Air mataku mengalir deras, kakiku menendang-nendang ‘Matahari’ agar menjauh.

KLEK! BRAK!

Pintunya terbuka. Aku menjerit bahagia. Kusambar kerah pria berbaju putih dengan kacamata itu, kutunjuk ‘Matahari’ yang tampak terkejut dengan kehadiran para idiot tersebut. Ha, bisa takut juga dia! “DIA AKAN MEMBAWAKU, DOKTER! DIA-YANG-MIRIP-DENGANKU! TOLONG, DOKTER, HUHUHU.”

“Obat penenang, Suster! Dosis tinggi.”

“AKU BERSUMPAH, AKU TIDAK BERBOHONG, DOKTER!” Ini terjadi berulang kali, setiap hari. Kurasakan tubuhku mengejang ketakutan ketika sesuatu disuntikkan ke dalam tubuhku. Penglihatanku mengabur seiring ‘Matahari’ ikut lenyap dalam pandangan.

Besok dia akan kembali.

Demi Tuhan, aku sama sekali tidak berbohong walau seisi rumah sakit ini menyebutku sakit jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!