Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 07 Januari 2011

Phobia Kehidupan

Oleh Laily Maharani (@maharaniezy)


Selama ini aku selalu takut.
Takut. Takut. Takut. Takut. Takut. Takut. Takut. Takut. Takut. Takut. Takut.
Dan pelan tapi pasti ketakutan membawa perubahan.
Dan faktanya terlalu banyak yang berubah setelah tahun-tahun muram belakangan ini. Tahun yang kalau bisa kupilih untuk dilewatkan. Tahun ini puncaknya. Aku seperti kesetanan.

Setan yang tidak bisa terbang. Setan yang bersisik sesat kepada setiap orang yang aku kenal. Setan penghasut. Ya !  Aku jadi pemarah. Menjadi pemarah tidak jelek selama kemarahan itu punya alasan.

Masalahnya, adalah aku tidak pernah punya alasan untuk bisa marah.

Aku marah pada selingkuhanku  karena dia cuek belakangan ini. Aku marah pada suami karena ia kecepatan pulang saat aku sedang asyik bercinta di kamar sebelah dengan selingkuhan. Aku marah pada anak karena  dia bodoh. Hasil ujiannya jelek-jelek. Aku marah pada satpam karena mereka ketiduran. Aku marah pada Jakarta yang macet. Aku benci melihat banyak orang miskin meminta-minta di jalanan. Aku marah pada perutku yang buncit tanpa sudi mengontrol makanan. Ya ! Aku marah ! Aku selalu marah-marah !


Suatu hari suamiku pulang dan memutuskan sesuatu. Kita bercerai, katanya singkat. Mendadak sekali. Aku tidak suka semua ini. Aku selalu menjadi istri yang sempurna di depan dia. Aku berselingkuh secara rapi, dan diam-diam. Mengapa dia mengambil keputusan sepihak yang berat sebelah seperti ini ?

. Aku tidak mau mengubah kodrat jadi anti sosial. Perceraian berarti hidup sendiri. Suamiku mengambil anakku . Anak yang katanya jarang aku urus. Anak yang sering menjadi tumpahan kemarahanku. Anak yang sembilan bulan lebih 3 hari bersemayam di perutku. Ah, sudahlah.

Hari itu suamiku pulang, hari itu suamiku tidak pulang.
Minggu itu suamiku pulang, minggu  itu suamiku tidak pulang.
Tahun kemarin dia hidup bersamaku, bisa jadi tahun depan hidup bersama sekretarisnya.

Suamiku mengambil tas besar dan mengosongkan isi lemari pakaian. Lalu ia mengambil kunci mobil dan menghilang. Sepertinya ia sedang marah bukan kepalang. Aku diam memperhatikannya. Aku tidak bisa marah seenak udel sekarang. Tidak boleh ada dua orang marah di waktu bersamaan.

Pagi ini aku bangun tanpa teman. Suamiku benar-benar keterlaluan. Karena aku sendirian. Dengan penuh raut wajah keheranan. Aku tetap tanpa teman.. Suamiku berpikir, tugas istri adalah menyiapkan makanan, dan menyediakan badan

. Kulihat jam dinding yang juga membuatku marah karena bunyinya kekerasan. Pukul 3 siang. Anakku pasti sudah keluar dari sekolah   Ini waktunya kembali main ibu-ibuan. Aku bukan ibu yang benar. Atau aku tidak benar-benar menjadi ibunya.

Malas aku beringsut dari tempat tidur. Membatin, betapa enaknya jadi penganggur. Kupilih pakaian yang berwarna teratur. Anakku tidak boleh malu dijemput oleh ibunya yang seorang pelacur.

Tiba di sekolah, aku disambut dengan wajah cemberut. Anakku hanya bermain PSP nya tanpa melihat ibunya yang marah dan pemalas ini mengangkat bokong lebarnya untuk menjemput dia.
Aku kesal melihatnya. Aku selalu kesal melihat apapun. Apalagi karena anakku begitu mirip ayahnya. Aku panggil namanya. Aku jadi marah-marah. Anakku memiliki nama sama dengan bapaknya. Ingin kucabik saja . Aku benci minta ampun setiap mengingat ayahnya. Karena lelaki durjana itu meninggalkan aku sendirian. Tanpa teman.

Teringat percakapan terakhir dengan durjana setengah baya itu :
"Maumu apa jalang?"
"Perceraian, suami bajingan!"
"Baik! Minggu depan semuanya selesai! "
"Kenapa tidak esok hari saja? Kamu orang berduit. Uangmu tidak bisa mempercepat proses ya "
"Aku banyak kerjaan. Urusanku bukan cuma kamu,!"
"Lebih cepat lebih baik, Brengsek !"

Setelah itu pintu dibanting. Kaca retak dan ujungnya pecah. Aku mengambil ujungnya lalu menggoreskan di sepanjang nadi ku. Padahal aku phobia darah ! Sedari dulu setiap melihat darah menitik saja aku akan menjerit minta ampun. Aku takut rasa sakit. Aku takut. Aku sangat takut.

Tetapi itu sebelum aku mengenal desiran adrenalin. Sebelum aku menjelma menjadi tukang cari masalah. Sebelum aku menjadi seorang hiperseks dan psikopat pemarah. Sebelum aku menjadi aku yang sekarang.

Kugambar banyak simbol di sepanjang lenganku. Lalu mulai menggores di sepanjang pahaku, dan kaki belalangku. Kaki yang menghantarkanku menjadi model terkenal lalu menikahi lelaki membosankan ini. Aku benci kakiku. Garis-garis membentuk baris-baris. Darah seperti cat saja mengalir meresap di seprai kamar tidurku. Merah kehitaman. Dengan bau agak anyir dan segar. Aku jadi suka darah.  

Aku tidur  dengan banyak luka. Luka hati dan luka fisik. Setidaknya aku ditemani, oleh luka. Daripada tidur tak berteman. Lebih baik tidak usah bangun sekalian.
Ya !
Aku phobia pada kehidupan. Mati saja kalau begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!